Kepada
kami berdua, dulu ibuku pernah menceritakan bahwa di suatu
kampung hiduplah sepasang suami istri. Si suami berprofesi sebagai guru dan
mengajar pada sebuah sekolah di kampung tempat ia
tinggal.
Suami istri itu adalah pasangan muda yang sederhana
dan baru saja dikaruniai seorang anak. Si istri telah melahirkan seorang bayi yang memang sangat mereka
idam-idamkan.
Di satu sisi mereka bahagia karena mendapat anugerah
seorang anak yang lucu, montok dan menggemaskan itu. Tapi di sisi lain mereka
juga menjadi sedikit bertambah sibuk dengan hadirnya si bayi.
Beberapa kali suami istri itu terlihat sangat
kerepotan mengurus bayinya yang masih berumur beberapa bulan itu. Maklumlah,
itu bayi pertama mereka, dan si istri masih belum terbiasa mengurus seorang
bayi.
Karena harus mengurus bayinya, tak jarang mereka
berdua harus bergadang sampai malam. Sungguh terbayang bagaimana repotnya kedua
orang tua seperti itu mengurus anaknya.
Suatu hari, saat suami istri itu sedang bersantai di
dalam rumahnya, tiba-tiba bayi mereka menangis dengan sangat kerasnya.
Meraung-raung dan menjerit-jerit. Entah apa yang terjadi hingga bayi itu
menangis sedemikian hebat. Yang pasti, kali ini, lagi-lagi si istri harus repot
mengurus bayi itu. Ia berusaha untuk menenangkan si bayi.
Disusuinya si bayi. Hanya sebentar saja si bayi
diam, dan kemudian bayi itu menangis lagi. Si bayi lalu diselimuti, tapi tetap
saja tidak berhenti menangis. Di timang-timang, malah tambah keras tangisnya.
Ibu muda itu terlihat mulai kesal. Bayinya terus saja rewel. Tangisnya tidak
berhenti meski segala upaya telah dilakukan untuk menenangkannya.
Saat istrinya berusaha menenangkan bayi mereka
seperti itu, si suami hanya duduk santai sambil menikmati kopi dan membaca
sebuah buku.
Melihat sikap si suami, istrinya pun merasa jengkel.
Mungkin saja si istri tidak
merasa mendapat dukungan dan perhatian dari si suami.
“Suamiku, apakah engkau tidak kasihan melihat
istrimu sibuk seperti ini? Dimana rasa sayangmu terhadap istri dan anakmu yang
kali ini begitu rewel? Benarkah engkau mencintai istri dan anakmu?”, tanya si
istri dengan nada sedikit tinggi.
Si suami mengerti dan memahami bahwa istrinya mulai
merasa jengkel saat itu. Dan seperti itulah memang seharusnya suami istri yang
baik. Saling memahami dan mengerti perasaan satu sama lain.
Si suami kemudian menutup bukunya, meletakkannya di
kursi dan ia menghampiri si istri. Setelah memperhatikan sejenak istri dan
bayinya, si suami mulai berkata pada istrinya.
“Istriku sayang”, katanya si suamu kepada si istri,
”Terang saja bayi kita tidak mau diam dari tadi. Kamu salah mengurusnya. Kenapa
kamu beri dia selimut, kamu susuin dan kamu timang-timang? Seharusnya kamu
tidak melakukan yang demikian.”
Si istri tentu tidak menyangka suaminya akan berkata
seperti itu.
Mendengar si suami justru menyalahkannya, si istri
pun semakin jengkel. “Kamu bisanya hanya menyalahkan. Kalau memang yang
kulakukan tidak benar, menurutmu apa yang seharusnya aku lakukan !?”, tanya si
istri masih dengan nada tinggi.
“Sebaiknya...”, jawab si suami dengan lugunya, “Kamu
bacakan saja isi buku yang baru saja aku baca, kepada bayi kita. Aku yakin dia
akan diam” Setelah berkata seperti itu, si suami mengambil buku yang tadi ia
letakkan di kursi. Ia coba menyerahkan buku itu ke istrinya.
Si istri kali ini semakin marah dengan kelakuan dan
kata-kata si suami.
“Bagaimana bayi kita bisa diam dengan buku itu ?!
Bayi kita masih berumur beberapa bulan. Memegang sesuatu pun belum bisa. Aku
ajak bicara juga belum mengerti. Bagaimana isi buku itu bisa membuatnya diam?!
Jangan bercanda denganku seperti ini..!!”, kata si istri setengah berteriak
karena menahan emosi. Si istri merasa dipermainkan dengan usul si suami.
Hampir-hampir si istri menangis karenanya.
“Janganlah engkau suka mengumbar emosi”, jawab si
suami masih dengan tenang dan lugunya, “Dengarkan penjelasanku lebih dulu. Aku
mengusulkan padamu membacakan isi buku ini, karena ada sebabnya. Ketahuilah,
bahwa buku ini sangat istimewa dan memiliki fungsi yang aneh. Ketika aku
bacakan buku ini didepan para muridku yang sedang belajar di kelas atau di
majelis pengajian, mereka semua mendengarkan dengan seksama. Karena sangat
khikmatnya mungkin, mereka pun tertidur pulas. Begitu juga ketika aku bacakan
untuk para ilmuwan, sastrawan dan orang-orang terpelajar lainnya. Kurasa mereka
semua sangat terkesima dengan isi buku ini, hingga mereka semua mendengkur
keras saat aku membacakan isinya untuk mereka. Dari situ, aku akhirnya tahu,
buku ini punya khasiat lain yang aneh. Yaitu bisa menimbulkan kantuk pada
pembacanya atau yang mendengar isinya. Itulah fungsi lain yang sangat istimewa
dari buku ini. Jika mereka para orang dewasa saja, dengan cepatnya terpengaruh
dan akhirnya mereka tertidur pulas ketika mendengar isi buku ini, tentu anak
kita yang masih bayi, akan lebih pulas ketika mendengarkan isinya. Jadi, wahai
istriku, alangkah lebih baik bila engkau mau menerima usulku, untuk membacakan
atau menceritakan isi buku ini kepada bayi kita.”
Mendengar kata-kata panjang si suami seperti itu,
sungguh bisa dibayangkan bagaimana reaksi si istri.
Yang pasti, setelah itu, saat seorang sahabat si
suami datang untuk meminjam buku itu, si suami mengatakan kepada sahabatnya,
dengan sangat pelan setengah berbisik, “Besok saja ya... Besok saja saya
berikan bukunya padamu. Tolong jangan sekarang. Kalau sekarang berbahaya… Tadi
istriku sangat berhasrat untuk membakar buku yang hendak kamu pinjam. Daripada
kita kehilangan buku yang sangat berharga itu, lebih baik besok kamu datang
lagi. Semoga istriku sudah reda amarahnya besok.”
Si
sahabat keheranan mendengar kata-kata seperti itu.
Si sahabat
benar-benar tak habis pikir, bagaimana orang yang marah bisa sampai membakar
sebuah buku? Ia menggeleng-gelengkan kepala. Bukankah membakar buku adalah
tindakan orang yang tidak ber-etika dan juga tidak ber-adab? Toh... seseorang
juga tidak dirugikan sama sekali oleh sebuah buku atau isi sebuah tulisan.
Bukankah seseorang malah mendapat manfaat dari sebuah buku? Bukankah pula,
seseorang merugi dan dianiaya sebenarnya oleh diri dan tindakannya sendiri?
Si sahabat benar-benar sangat heran waktu itu. Untung saja, si sahabat
tidak tahu kalau si suami itu malah menganggap buku sebagai obat tidur.*****
0 komentar:
Posting Komentar