Rabu, 28 November 2012

Catatan Pagi Delapan Juli


PAGI YANG INDAH. Hari telah berganti menjadi hari Minggu, tanggal 8 Juli 2001. Kulihat, saat itu masih jam lima pagi. Setengah jam sebelumnya aku sudah terbangun.
Setelah pergi sholat subuh berjamaah di masjid bersama Najmuddin, aku kembali ke kamarku. Begitu juga adikku, ia kembali masuk ke kamarnya.
Sesampainya di dalam kamarku, pagi itu aku mulai merenungi diriku sendiri.

Benar-benar tidak kusangka, tanpa ada yang membangunkan, aku bisa bangun sepagi itu. Biasanya, karena terlalu suka ‘ngalong’ alias nge-batman untuk menyelesaikan tulisan-tulisanku, atau sekedar membaca buku dan artilkel, aku susah banget untuk bisa bangun pagi. Yang kutahu ngalong adalah bahasa jawa yang berasal dari kata dasar kalong. Berarti kelelawar besar. Jadi menurutku ngalong = menyerupai kelelawar, atau juga = suka melek malam.
Sedangkan Batman, sudah banyak yang tahu seperti apa tokoh ini. Jadi nge-batman, kurasa setiap orang bisa mengartikannya, sesuai dengan presepsinya masing-masing terhadap tokoh itu. Yang pasti, karena suka nge-batman, seringkali juga, aku lebih memilih terjaga hingga waktu subuh tiba, lalu tidur setelah subuh.
Pagi itu, saat kembali berada di dalam kamarku, lalu merenungi diriku yang tidak seperti biasanya, tiba-tiba saja tubuhku agak terasa aneh. Mungkin saja, karena pola tidurku yang tiba-tiba berubah, bangun tidak seperti biasanya, tubuhku menjadi aneh begitu. Bisa saja seperti itu. Namun, tidak jadi masalah. Yang jelas, aku sudah berkeinginan segera menghentikan keanehan yang muncul dan kurasakan dalam tubuhku.
Akhirnya, dengan kebulatan tekad, plus sedikit semangat empat lima yang ‘kusuntikkan’ dalam hati, aku putuskan untuk segera menggerakkan tubuhku. Aku segera memakai celana triningku, menggantikan kain sarung yang kupakai setelah sholat subuh. Lalu aku mengambil jaket yang tergantung di rak pakaian. Tidak lupa juga, aku memakai kaos kaki dan sepatu warna putih, yang biasa kupakai untuk bermain bulu tangkis bersama teman-temanku, di kompleks perumahanku.
Sebelum keluar rumah, aku sempatkan berpamitan kepada ibuku, yang kulihat sedang berada di dapur bersama Fatimah. Aku lalu mengambil sebotol air putih dari kulkas, yang terletak di ruang makan dekat dapur. Saat aku mengambil botol minuman itu, sepintas sempat kulihat Fatimah cengar-cengir memandangiku. Mungkin karena melihatku memakai celana trining plus jaket seperti itu. Kubiarkan saja Fatimah dengan berbagai pikirannya. Yang penting tubuhku bisa terasa lebih enak setelah itu.
Aku kemudian keluar rumah, berlari menyusuri jalanan diperumahanku, Kompleks Candra Kirana yang masih sepi. Benar-benar masih sepi. Dan jelas saja masih sepi... masih begitu pagi. Lampu jalan saja masih menyala. Matahari juga belum terbit. Banyak orang diperumahanku mungkin belum bangun tidur. Meski subuh hampir lewat.
Bosan hanya mengitari jalanan yang ada di perumahanku, akupun berlari menuju ke jalan Veteran Kediri. Jalan yang melintas dari arah timur, berawal di depan kompleks perumahanku hingga kebarat sampai ke Perempatan Mojoroto, Kediri.
Saat aku menuju ke jalan Veteran itu, kurasakan benar udara pagi itu sangat segar. Tapi sungguh, lagi-lagi aku merasa aneh. Sekali lagi, mungkin karena benar-benar tidak terbiasa bangun sepagi itu, meski sudah coba menggerakkan badanku, masih saja terasa ada yang aneh di tubuhku. Dan yang paling khusus, rasa aneh itu bersarang dimataku.
Bagaimana tidak aneh. Jelas sekali, saat kucubit kulit tanganku, aku berada dalam alam nyata. Aku bukan berlari dalam mimpi. Tapi, setelah melihat apa yang tampak didepanku, serasa aku sedang bermimpi.
Saat aku berlari dan mulai keluar dari jalanan di perumahanku, tepat di pintu gerbang kompleks perumahanku, dipinggir jalan Veteran, berdiri seorang gadis. Rambutnya panjang tergurai. MasyaAllah, dari jauh sudah terlihat cantiknya. Tampak sekilas, seperti bidadari yang tergambar di TV. Gadis cantik itu memakai gaun. Dan kebetulan sekali, kok ya berwarna putih. Gaun putih yang dipakainya memanjang hampir menyentuh tanah, tapi tidak benar-benar sampai ke tanah.
Pemandangan seperti itu, ditambah dengan kabut, yang sedikit masih menyelimuti pagi hari, benar-benar membuat suasana yang kualami, seperti di alam mimpi.
Sesaat kemudian, terlihat gadis itu menoleh kearahku. Dia tersenyum....
Wah-waah.....Waduh rek !!! Apa ini? Kurasakan jantungku benar-benar mulai berdegup kencang. Dadaku berdesir. Nafasku bertambah cepat.
Tidak terlalu pasti, semua itu terjadi karena aku kaget melihat si gadis cantik yang tiba-tiba tersenyum kepadaku, atau memang karena aku yang tidak biasa berlari pagi, hingga nafasku cepat sekali ngos-ngosan. Yang jelas, saat itu, keringat sudah membasahi tubuhku. Dan yang lebih jelas lagi bagiku, karena aku belum pernah melihat gadis itu sebelumnya, hampir saja aku larut dalam pikiran yang macam-macam. Pikiran yang menimbulkan ketakutan tak beralasan.
Terlintas diotakku pagi itu, meski hanya sesaat, cerita-cerita yang sering sekali muncul di TV. Ada seorang gadis cantik bergaun putih, sengaja menemui seseorang di tempat yang masih sunyi dan masih sepi. Lalu, tiba-tiba si gadis tersenyum. Kemudian, beberapa saat setelah itu, si gadis mulai melayang sambil tertawa nyaring.... hiii hiiii hiii....
Wuiiihh....!!!  Kebayang jelas dalam benakku, penampakan apa yang sering ada di sinetron horor. Dadaku terkesiap saat terlintas dalam pikiranku yang seperti itu.
Tapi sungguh. Cepat-cepat kubuang pikiran seperti itu. Tak ada alasan aku ketakutan tanpa sebab. Lagipula, aku juga tidak mungkin berbalik arah hanya karena melihat gadis cantik yang tersenyum padaku.
Lalu kukatakan dalam hati, pada diriku sendiri, ”Hey !!! Ingat Afif !!! Jangan sampai terjebak dalam ketakutan seperti itu lagi. Yang di depanmu pagi ini, gadis beneran. Nggak ada yang perlu ditakuti, kecuali Yang Maha Tinggi...”
Kucoba menenangkan diriku. Menjernihkan pikiranku, dengan mengatakan kata-kata yang seperti itu.
Aku terus berlari. Aku semakin mendekat ketempat gadis itu berdiri. Meski dengan sedikit kewaspadaan kali ini. Dan kewaspadaan seperti itu, kukira memang pada tempatnya. Bagaimanapun, aku harus tetap menjaga pandanganku. Salah satu alasannya, tentu agar aku tidak tersandung batu, lalu jatuh terguling-guling. Akan sangat memalukan bila itu terjadi. Apalagi terjadi didepan seorang gadis.
Beberapa saat kemudian, aku melintas di depan gadis itu. Wajah si gadis semakin terlihat jelas olehku.
MasyaAllah... benar-benar cantik... Matanya tajam seperti milik Tamara Blezinky, namun wajahnya sabar keibuan seperti wajah Mona Ratuliu. Bahkan menurutku, pesonanya melebihi keduanya. Gadis itu lebih anggun. Mungkin seanggun Ken Dedes jaman dulu. Andai saja, Ken Dedes tidak tergambar dengan patung yang bertelanjang dada. Mungkin juga seperti Dewi Sekartaji yang terkenal kecantikannya itu. Atau mungkin juga, lebih mirip gambaran Zulaeka, wanita yang tergila-gila pada Nabi Yusuf a.s. Dan lagi-lagi, andai saja aku setampan beliau, juga andai saja gadis itu tergila-gila padaku.
”Pagi mas....”, sapa gadis itu saat aku melintas didepannya.
Suaranya masih sangat asing di telingaku, tapi terdengar lembut. Merdu, semerdu sebuah alunan lagu.
“Hhhhh...hhh.. hiya... pagi....“, jawabku sambil coba mengatur nafasku. Akupun tersenyum padanya. Menoleh sedikit kearah gadis itu.
Sepintas, kulihat sambil berlari, wajah gadis itu memang putih bersih, saat terkena terpaan sinar lampu jalan. Bersinar terang dan bercahaya seperti rembulan. Bukan rembulan kesiangan karena tidak pucat. Wajahnya benar-benar menarik perhatianku.
Tapi sekilas, terlihat juga olehku, di kedua pelupuk matanya warna hitam kebiruan.
Meskipun aku tidak begitu yakin dengan yang kulihat, yang pasti, saat aku melihat kedua pelupuk matanya yang tampak hitam kebiru-biruan seperti itu, pengaruh sinetron horor kembali merasuk ke dalam pikiranku.
Lalu, ada satu hal yang kemudian kuperhatikan dari gadis itu.
Kakinya !! Entah kenapa kuperhatikan kakinya. Mungkin karena aku pernah mendengar, kata orang-orang, bila kakinya menyentuh tanah, berarti bukan hantu, bukan dedemit.
Dan ternyata... Hwaduhhh!!! Gadis itu kakinya tidak menyentuh tanah !!
Tapi, aku justru lebih tenang. Hatiku menjadi adem. Terasa lebih sejuk. Sesejuk udara pagi itu. Sesejuk wajah gadis itu, bagiku. Aku seratus persen percaya, gadis itu manusia. Bagaimana tidak percaya? Kakinya memang tidak menyentuh tanah. Tapi, yang seperti itu karena dia pakai sepatu...... ( maapkan aku sahabatku J )
Setelah mengalami hal seperti itu, aku masih terus berlari. Aku terus mengayunkan kakiku. Aku berlalu dari tempat gadis itu berdiri. Kunikmati kembali udara pagi.
Aku menyusuri jalan Veteran. Salah satu jalan di kota Kediri, yang pada hari-hari biasa, selain hari libur, pagi seperti itu ramai oleh hiruk pikuk anak-anak sekolah. Di jalan Veteran itulah bertempat beberapa Sekolah Menengah Tingkat Atas di Kotamadya Kediri.
Dengan santai kulewati jalan veteran, karena jalanan masih begitu sepi. Dan tentu saja, meskipun jalanan masih sepi, aku lari untuk menikmati udara pagi, dari bagian pinggir jalan. Dengan begitu, kalau saja sewaktu-waktu ada mobil atau motor yang lewat, aku tidak mengganggunya, dan juga kecil resikonya aku ditabrak.
Aku lalu meninggalkan jalan Veteran. Aku berlari mengarah ketimur. Melewati taman Dewi Sekartaji. Lalu berbelok ke kanan menuju jembatan lama. Sebentar saja aku sudah melintas di depan Kantor Pembantu Gubernur Jawa Timur, yang bertempat di Kotamadya Kediri.
Sampai di jembatan lama, jembatan yang melintas diatas Sungai Brantas, aku memilih tidak menyeberang jembatan itu. Aku berbelok lagi ke kanan. Melintas di Pasar Bandar yang ada di sebelah kiri jalan.
Setelah mengitari kompleks Polwiltabes Kediri, aku kembali menuju ke arah Taman Dewi Sekartaji. Sampai di taman Dewi Sekartaji yang rimbun, aku lalu menuju kembali ke kearah barat. Kembali kutelusuri jalan Veteran Kediri.
Saat aku kembali melewati gerbang perumahanku yang ada di sebelah kiri jalan, masih kulihat gadis bergaun putih itu. Aku coba kembali tersenyum kepadanya, dan ia membalas senyumku. Rasanya, udara pagi semakin segar saat kulihat senyuman gadis bergaun putih itu. Meski hanya sepintas, senyumannya sungguh menyejukkan.
Setelah itu, aku terus mengarah ke barat. Di sebelah kiriku, mulai kulewati SMA Negeri 1 Kediri yang hari minggu itu sepi. Lalu kulewati Gereja Katolik, sekaligus SMK Katolik Petra Kediri. Sampai di perempatan jalan, setelah Gereja itu, aku berhenti sebentar. Beberapa kendaraan melintas dari kedua arah, selatan dan utara. Melewati jalan Wilis yang memotong Jalan Veteran yang sedang kutelusuri.
Setelah beberapa kendaraan itu melintas, aku kembali berlari ke arah barat. Di sebelah kiri kulewati SMEA Negeri Kediri. Lalu kulewati SMA Negeri 2 Kediri. Saat melintas SMA Negeri 2 Kediri, di arah sebelah kananku, diseberang jalan, kulihat beberapa pasukan Brimob mulai melakukan persiapan untuk melaksanakan apel pagi di markasnya yang terletak di Jalan Veteran itu.
Aku masih terus menuju kearah barat, melewati STM Negeri Kediri. Setelah melewati beberapa kompleks perumahan, aku sampai juga di perempatan Mojoroto. Setelah perempatan itu, aku lagi-lagi masih terus kebarat menuju ke arah Goa Selomangleng.
Sambil berlari, kuhirup udara yang benar-benar bersih dan nyaman pagi itu. Benar-benar kunikmati suasana pagi yang penuh berkah.....
Setelah melewati Universitas Kadiri yang ada di sebelah kiri jalan, aku sampai juga di pelataran tempat wisata Goa Selomangleng yang sepi.
Dengan sesekali minum air putih di botol yang kubawa dari rumah, pagi itu aku duduk beristirahat di pelataran tempat wisata Goa Selomangleng. Dari sana, aku bisa menikmati pemandangan pagi yang indah dan asri. Sesekali aku memandangi puncak gunung Wilis yang tepat berada diatas sebelah barat Kota Kediri.
Dari tempatku duduk, terlihat Puncak Wilis menjulang di balik gunung Klotok dan Gunung Maskumambang. Gunung Wilis, bukanlah gunung yang terlalu tinggi. Tapi kurasa, sebuah gunung yang besar. Nyatanya, di kaki Wilis, terdapat enam kabupaten yang ada di Jawa Timur. Salah satunya adalah Kota Kediri yang kutinggali. Yang lain adalah, Kabupaten Tulungangung, Trenggalek, Ponorogo, Madiun dan Nganjuk. Enam Kabubaten itu menurut peta yang pernah kupelajari di sekolah, sebagian wilayahnya berada di kaki Gunung Wilis.
Sambil memandangi puncak Wilis, aku juga sempat memandangi patung-patung yang ada di sekitar tempatku duduk. Konon, patung-patung yang terdapat di pelataran Goa Selomangleng itu, adalah patung-patung peninggalan jaman Prabu Brawijaya. Seorang raja jaman dulu yang namanya, sekarang diabadikan menjadi nama Stadion basecamp-nya Persik Kediri.
Setelah puas menikmati pemandangan pagi di pelataran Goa Selomangleng, aku berdiri. Aku bermaksud pulang kerumah.
Aku kembali berlari-lari kecil sambil menikmati bangunan-bangunan yang ada disepanjang jalan yang kulewati. Kulihat, lampu di teras-teras rumah sudah mulai dimatikan. Lampu jalan juga sudah dipadamkan. Langit sudah terang. Cahaya matahari bersinar dari arah timur, arah yang kutuju untuk kembali kerumahku.
Saat itu, jalanan sudah mulai terlihat rame. Sesekali kulihat beberapa orang naik sepeda dan sepeda motor. Sebagian memakai seragam khas pegawai pabrik rokok Gudang Garam yang ada di kota Kediri. Mereka mulai berangkat kerja. Mencari nafkah untuk kehidupan keluarganya.
*****
Saat aku berlari menuju kembali kerumah, tepat ketika sampai di tempat aku menyapa seorang gadis bergaun putih sebelumnya, di pintu gerbang memasuki kompleks perumahanku, kulihat ada sebuah buku berwarna hijau muda tertelungkup di tepi jalan. Terlihat masih baru. Dan rasanya aneh. Masa’ buku yang masih baru seperti itu dibuang? Lagipula, sayang sekali kan kalau sebuah buku dibuang begitu saja?
”Fif... Mungkin saja buku itu terjatuh. Bukan dibuang...”, kukatakan seperti itu dalam hatiku, agar aku tidak terjebak dalam prasangka negatif.
Aku berhenti dan kupungut buku itu.
Benar. Buku itu terlihat masih baru. Kalaupun tidak baru, pasti yang punya buku, merawatnya dengan baik. Sebuah buku catatan. Lebih mirip seperti sebuah diary.
Karena sedikit agak basah terkena embun pagi, tanah menempel di beberapa bagian buku itu. Aku kibas-kibaskan buku itu untuk membersihkannya dari tanah yang menempel. Kemudian aku lihat-lihat sebentar. Didalamnya terdapat beberapa tulisan tangan. Sepintas, tulisan-tulisan dalam buku itu tampak seperti sebuah cerita.
Karena kulihat didalamnya terdapat tulisan, yang sepertinya tampak sebagai sebuah cerita, keisengan dalam diriku muncul dengan tiba-tiba. Hari itu hari minggu. So... aku bisa membaca isi buku itu. Itung-itung sebagai tambahan informasi, sambil minum kopi dan menikmati kue sehabis mandi... Begitu pikirku.... Lagipula, jika mau dikembalikan, aku tidak tahu siapa pemiliknya. Lalu dikembalikan kepada siapa?? Kepada yang mbaurekso (penunggu) jalan??
Dan bila ditinggal, kok ya sayang banget. Buku sebagus itu dibiarkan terbuang begitu saja.... Akhirnya aku membawa buku itu kerumah. Kuanggap buku itu sebagai harta temuan tentunya..... dan... Alhamdulillah... dapat sebuah buku....
*****
Sesampainya dirumah, untuk mengeringkan keringatku, aku duduk di kursi yang ada diteras. Kuletakkan buku temuanku diatas meja kecil yang ada disampingku, berdekatan dengan botol air putih yang juga masih kubawa serta.
Pagi itu, sambil duduk-duduk diteras rumah, aku mulai memandangi bunga-bunga yang tumbuh di taman kecil, di halaman depan rumahku.
Taman didepan rumahku itu, tidak begitu luas. Tapi bisa menyegarkan mataku saat melihatnya. Ditambah lagi, beberapa bunga yang ada disitu sedang mekar. Saat melihat pemandangan seperti itu, kubisikkan dalam hati, ”Subhanallah. Segala puji bagi-Mu ya Allah. Yang telah menciptakan keindahan ini untuk mataku. Sudah selayaknya segala sesuatu bertasbih pada-Mu. Dan benarlah, hanya Engkau yang memahami tasbih makhluk-Mu. Sebagaimana tasbih bunga yang mekar dengan indah dihadapanku ini”.
Melihat bunga-bunga dihalaman rumahku itu, tiba-tiba aku teringat pada sosok bapakku, yang sudah seminggu dinas ke Surabaya. Pagi itu beliau ada di Surabaya mengikuti sebuah pelatihan untuk para guru. Bapaklah yang dengan penuh perhatian, selalu merawat semua tanaman yang ada di taman kecil, di halaman depan rumahku itu.
Merawat bunga-bunga di taman itu, adalah salah satu kegiatan beliau disamping kegiatan beliau yang lain sebagai seorang guru. Bapakku selalu menyempatkan waktu untuk memeriksa kesegaran bunga-bunga yang ada ditaman itu. Beliau kuangap sangat teliti, seperti halnya beliau merawat dan mendidik kami sekeluarga.
Melihat bunga-bunga ditaman kecil itu, juga sempat terlintas dalam pikiranku, wajah gadis yang sebelumnya kujumpai di pintu gerbang perumahanku. ”Wajah gadis itu.....Ya... wajahnya seperti bunga yang sedang mekar di taman rumahku itu.....”, gumanku. 
*****
Beberapa lama, pagi itu aku masih duduk di teras. Keringat di tubuhku sudah mulai mengering. Dan saat aku berniat akan berdiri dari tempat dudukku, Fatimah, adikku yang sudah duduk di kelas tiga SMA itu, muncul dari ruang tamu.
”Mas, aku pergi dulu ya...”, ucap Fatimah saat ia melewatiku.
”Pergi kemana? Pagi-pagi begini tumben sudah rapi?”
“Ada pengajian di rumah Hajah Juariah. Berangkat dulu mas... Assalamualaikum.”
Saat itu, Fatimah mengucapkan salam tanpa memperhatikanku. Ia terlihat begitu buru-buru. Ia terus melangkah dan segera membuka pintu pagar halaman rumahku.
”Fatimah...!”, panggilku setengah berteriak, tanpa menjawab salamnya.
Fatimah berhenti. Tangannya masih memegang pintu pagar, tapi ia mulai menoleh kearahku. ”Ada apa mas?”
Aku diam dan memasang muka serius saat itu. Kemudian aku mulai menunjuk-nunjukkan jari telunjukku ke arah Fatimah.
Fatimah terlihat sedikit heran. ”Ada apa mas?”, tanyanya lagi. Ia tetap menatapku.
Aku masih diam sambil terus menunjuk ke arah Fatimah. Fatimah mulai melihat ke sekililingnya. Kuperhatikan wajah Fatimah yang mengenakan jilbab warna putih kebiruan dan mengenakan rok panjang warna biru tua, sama dengan warna baju lengan panjangnya itu. Wajah Fatimah yang terlihat cantik pagi itu, semakin terlihat kebingungan. Aku menahan rasa geli yang mulai hadir dalam diriku.
”Ada apa sih mas?“, tanya Fatimah lagi.
”Itu... resleting rokmu terbuka tuh...”, ucapku dengan nada kubuat serius.
Sekonyong-konyong wajah Fatimah memerah. Ia lalu berlari menuju kedalam rumah.
Aku tersenyum geli melihatnya. Aku mengikuti adikku. Melangkah masuk ke dalam rumah. Tidak lupa, aku membawa buku temuan yang sempat kuletakkan diatas meja kecil diteras rumahku. Juga botol minuman air putihku.
*****
Aku baru saja sampai diruang tamu, ketika kudengar suara Fatimah berteriak dari arah dapur, ”Mas Afiiiffff !! Jahat sekali !!! Awas ya !!!!”
Beberapa saat kemudian, dari arah dapur, kulihat Fatimah bergegas menyongsongku. Ia membawa sebuah parutan kelapa, yang biasa digunakan ibu. Ia coba mendekatiku.
Aku tersenyum mendengar teriakan dan tingkah Fatimah yang seperti itu. Rupanya Fatimah telah sadar kalau aku kerjain. Resletingnya memang tidak terbuka. Aku saja yang memang suka usil kepada adikku satu ini.
Dengan sigap, akupun melangkah menghindar darinya. Setelah aku mengganggunya, aku tahu apa yang dipikirkan adikku. Ia pasti ingin membalas, dengan menggunakan parutan yang dipegangnya. Meskipun aku yakin juga, Fatimah tentu tidak mungkin sampai hati memarut mukaku, namun aku tetap menghindarinya. Untuk berjaga-jaga.
Fatimah terus berusaha mengejarku dengan muka mulai cemberut.
Aku memutari meja yang ada di ruang tamu, sambil tertawa cekikikan. Terus menghindar dari kejaran Fatimah.
Beberapa lama kami kejar mengejar di ruang tamu. Saat Fatimah berhenti, aku pun berhenti. Saat Fatimah berbalik arah, aku pun berbalik arah. Aku juga masih terus cekikikan melihat Fatimah yang semakin nampak gusar.
*****
”Afif !!!! Fatimah !!!!”, tiba-tiba suara ibuku terdengar keras di telingaku.
Aku berhenti dan Fatimah pun demikian. Ternyata ibu sudah berada di ruang tamu memperhatikan kami berdua.
”Kalian ini... !!! Pagi-pagi sudah ribut sekali !!” Suara ibu terdengar meninggi, tapi aku tahu, beliau tidak marah. Aku masih senyum-senyum menatap Fatimah.
”Fatimah, kemarikan parutan itu ! Ibu akan menggunakannya. Lebih baik kamu cepat berangkat, nanti telat”, ucap ibu ke Fatimah, lalu beralih kepadaku, ”Dan kamu Afif !! Kamu selalu saja suka mengganggu adikmu ! Kalian ini sudah jarang ketemu, tapi kalau ketemu pasti seperti ini. Daripada kamu terus menganggu adikmu, lebih baik kamu sekarang mandi, lalu bersihkan gudang bapak, mumpung kamu dirumah. Nanti kalau bapak datang, beliau tidak perlu repot-repot membersihkannya.”
Setelah ibu berkata seperti itu, Fatimah terlihat melirikku sambil menyerahkan parutan kelapa yang dipegangnya kepada ibu. Aku masih tersenyum melihatnya. Senyum untuk menggodanya.
”Bu, aku berangkat... Assalamualaikum”, ucap Fatimah kemudian. Ucapan itu hanya ditujukannya kepada ibu.
”Waalaikum salam....”, jawabku mendahului jawaban salam dari ibuku.
Fatimah merengut sambil terus melangkah kearah pintu.
Saat Fatimah sampai di pintu, aku berkata padanya, ”Hei... Adik... lain kali hati-hati dengan resletingnya....”
Fatimah memandangku, mengepalkan jari-jarinya dan mengarahkan tangannya yang lembut ke arahku. ”Awas..!!! Tunggu nanti, kalau aku sudah pulang.....”, kata Fatimah.
”Aku tunggu kamu pulang....”, ucapku sambil tersenyum.
Fatimah tidak lagi memperdulikan ucapanku. Ia terus melangkah keluar meninggalkan aku dan ibu di ruang tamu. Dan dengan sikapnya yang seperti itu, aku yakin, sepulang dari pengajian, Fatimah tentu tidak akan lagi punya niat untuk membalas dendam atas keusilanku padanya. Lagipula, selepas mengikuti pengajian, biasanya hati seseorang menjadi lebih lunak. Seringkali juga di bicarakan dalam pengajian, kalau membalas dendam tidak akan menyelesaikan masalah. Malah tambah masalah.
Pagi itu, ibu terus menggeleng-gelengkan kepala melihat kami berdua seperti itu. Kurasa, ibu bisa memaklumi tingkah kami. Setelah menggeleng-gelengkan kepala, ibu tidak mengucapkan apa-apa lagi. Beliau hanya langsung melangkah kembali ke dapur, sambil membawa parutan kelapa yang hampir saja disalahgunakan oleh Fatimah.
Setelah ibu pergi meninggalkanku, dengan senyum kemenangan, aku melangkah ke kamarku. Aku menaruh buku temuanku dimeja komputer. Setelah itu, aku menaruh botol minuman air putihku di kulkas, membuat secangkir kopi, lalu bergegas mandi.
*****
Jam tujuh, selepas mandi, aku kembali berada dikamarku. Aku menghadap meja tempat aku menaruh komputerku. Aku menyalakan komputerku, lalu memutar beberapa lagu. Itu kebiasaanku di depan komputer sejak dulu, bila aku sedang sendiri. Setelah kubetulkan malam sebelumnya, komputerku benar-benar sudah kembali normal. Aku mendengarkan lagu-lagu itu sambil menikmati kopi yang telah kubuat sebelum aku mandi.
Kemudian, aku mengambil buku tulis berwarna hijau muda, yang kutemukan saat aku berlari pagi sebelumnya. Aku mulai membaca halaman pertama..... kurasa belum ada yang istimewa. Halaman kedua, ketiga, keempat dan kelima... sama saja.... Tidak begitu berkesan menurutku saat itu. Hanya pandangan pribadiku tentunya.
Aku sudah hampir meletakkan buku itu. Tapi, saat aku mulai membuka halaman keenam dari buku kecil itu, ada satu hal yang membuat hatiku mulai tertarik. Halaman keenam dari buku itu, isinya kurasa sangat aneh. Hanya ada tiga kata, AKU TIDAK TAHU. Tertulis sangat besar. Memenuhi satu halaman.
Saat kubalik halaman berikutnya, halaman ketujuh, tiga kata itu juga masih ada. Dan lagi-lagi, tertulis dalam satu halaman penuh. Aku terus membuka-buka halaman berikutnya. Aneh dan mengherankan. Tiga kata ’aku tidak tahu’ masih saja ada. Saat kuhitung, tiga kata itu, ternyata tertulis persis di lima belas halaman. Benar-benar buku yang aneh !!
Untung saja, tidak semua halaman buku yang kutemukan itu hanya berisi tiga kata ’aku tidak tahu’. Bila begitu isinya, mungkin aku bisa mendaftarkannya, sebagai sebuah rekor buku temuan yang aneh, ke Museum Rekor Indonesia. Atau, bisa juga bisa didaftarkan sebagai rekor dunia. Dunia aneh tulis menulis. Dunia aneh perbukuan internasional.
Setelah halaman-halaman yang hanya berisi tiga kata itu, di halaman selanjutnya, ada beberapa tulisan. Tidak terlalu panjang. Isinya seperti curhat dan juga mirip seperti puisi.
Aku mulai membaca tulisan itu.......
Air bagian besar kehidupan
Membawa kedamaian dan ketentraman
Air mendinginkan dan menyegarkan
Cahaya menunjukkan jalan
Cahaya menerangkan
Cahaya mengalahkan kegelapan
Api membakar tanpa memilih
Menghancurkan tanpa memilah
Tapi api melelehkan besi
Memurnikan emas dari campuran
Api matahari……
Menebarkan kehangatan sepanjang hari

Dan…..
Rona merah ada di wajahmu
Kala canda tawa melalaikanku
Kilat bersembunyi dibalik cahaya matamu
Menyilaukan dan menghentikan ceriamu
Biru menyelimuti bibirmu

Dan…..
Sungguh lidahku tajam
Bahasaku menyayat
Tapi aku tak memahaminya hinggga kau terdiam

Sungguh….
Aku tak pernah berpikir bahayanya
Hampir meluluhkan keteguhan
Menghamburkan mutiara kehidupan
Membakar ketenangan
Menggunggah amarah

Dan……
Aku tahu luka baru saja menghampiri
Ketika kau terdiam
Hampir saja kau mengumbar tangis
Mengalirkan air suci dari keindahan warnamu

Kalaupun kau menangis
Aku tak kuasa menahannya
Kalaupun kau menumpahkan amarah
Tak mampu kuhentikan api dalam nuranimu
Tumpahkan bila ingin kau tumpahkan
Ledakkan bila ingin kau ledakkan
Aku menerima dan aku tak akan mengeluh

Dan akhirnya……
Sungguh telah kulihat kelembutan menutup murka
Kesejukan mengalahkan kegerahan
Penguasaan jiwa yang halus mengalahkan bara yang kasar

Terima kasih…
Kau menahannya
Kau menyembunyikannya
Kau memendamnya
Dan tak menghamburkannya
Tak mencurahkannya
Tak meluncurkan anak panahnya
Untuk melukai yang ada dihadapanmu
Menggores luka di dalam hati
Menyalakan nurani
Menggelapkan mata
Merusak kemurnian jiwa

Tapi….
Kali ini kulakukan yang belum pernah kulakukan
Kuhadirkan yang belum pernah kuhadirkan
Kuminta  yang belum pernah kuminta

Jangan melihat pada mataku
Karena mataku tercipta untuk lebih tajam dari kataku
Jangan mendengar suaraku
Karena suaraku tercipta lebih menggelegar dari halilintar
Jangan perhatikan bahasaku
Karena bahasaku terhambur seperti batu di lembah kehidupan
Jangan berusaha membaca cahayaku
Karena sinarku mungkin tak seterang sinar karunia yang ada padamu

Dan…..
Inilah…..
Air…..

Sungguh aku pasti akan menerima murkamu
Bila kau menginginkannya dariku

Meski kau singkirkan aku dengan rona merah kemarahanmu

Kau seret aku bersama kilat yang ada dalam matamu
Aku berdiam dan akan terus tersenyum
Bahagia menatap masa dan terus berdiri
Menanti pertemuan denganmu

 

Tapi…

Jangan katakan aku melupakanmu
Jangan katakan yang kau beri tak berharga bagiku
Jangan katakan aku mengingkari kasihmu

Jangan….
Kumohon…..
Karena…

 

Itu akan meluluhlantahkan pondasi dalam diriku

Melumatkan pijakanku
Menggoyahkan persendian tulangku
Merontokkan bulu-bulu kepekaanku
Mencabik-cabik halusnya selimut jiwaku

Membiaskan cahaya yang kutangkap darimu


Dan…..
Inilah…..
Akhirnya…..

Kusenandungkan yang kusimpan dalam diamku
Kubisikkan yang terbersit dalam hatiku

"Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia. Mahasuci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka."
*****
Ada rasa adem dan rasa tentram yang bercampur dengan sedikit rasa sesak dan rasa miris dalam dadaku, setelah aku membaca tulisan itu. Mungkin saja, karena terlalu larut pada tulisan yang kubaca, aku jadi merasa seperti itu.
Akhirnya, meskipun masih ada beberapa lagi tulisan yang ada di buku itu, aku terpaksa berhenti sebentar. Aku terdiam agak lama, mencoba menenangkan diriku terlebih dulu. Aku menarik nafas panjang. Dan aku mulai merasa nyaman kembali.
Setelah aku merasa tenang, pikiranku juga mulai bisa fokus, kulanjutkan kembali membaca isi buku itu. Tak ada lagi yang sangat menarik perhatianku saat itu. Tulisan selanjutnya dalam buku itu, hanya berisi catatan tentang beberapa hal. Ditambah beberapa tulisan yang sepertinya terlihat sebagai rumus-rumus karena terdiri dari angka-angka seperti persamaan matematika. Entah rumus-rumus apa aku tidak bisa paham. Tidak ada judul ataupun nama tertentu yang tertulis dimasing-masing rumus itu. Aku pikir, yang pasti paham, hanyalah pemilik buku itu, karena tentu, dialah yang mencatatkannya.
Sesaat kemudian, ketika aku mulai memperhatikan halaman terakhir buku itu, mataku tertuju pada sebuah kalimat yang tertulis diakhir catatan-catatan itu.
Aku sedikit ingin tertawa, ketika membaca kalimat terakhir yang kutangkap dengan mataku. Tertulis di halaman paling belakang buku itu, ”Wahai Manusia ! Barangsiapa diantara kalian menemukan catatan ini, tolong kembalikan ! Ini bukan ancaman juga bukan peringatan. Hanya sebuah permohonan. Ini no teleponku” (Shinta : 081-2136xxxxx)
Wowhoohooo...!!! Punya selera humor yang aneh !! Shinta, yang mungkin adalah benar pemilik buku itu, kurasa punya selera humor yang tidak biasa.
Aku pun langsung meraih ponsel-ku, menulis sms yang tidak pendek : ”Assalamu alaikum ww... Saya Afif, seorang manusia biasa, telah menemukan buku catatan anda, tanpa sengaja kecuali saat membacanya. Bagaimana cara saya mengembalikan buku anda?”
Aku mengirimkan sms yang kutulis, kenomor yang ada di buku catatan kecil itu, sambil terus tersenyum. Lalu kuletakkan buku kecil itu, disamping komputerku.
*****
Setelah berinteraksi sebentar dengan isi buku catatan kecil yang sedikit aneh pagi itu, aku lalu menikmati secangkir kopi yang sudah mulai dingin, sambil memperhatikan beberapa file artikel di komputerku. Aku memilih dan membuka satu file artikel setengah jadi, yang sebelumnya sempat kutulis di tempat kostku, dan kuberi judul, ”Kampus, Tempat Cari Ilmu atau Tempat Gaul”. Karena keisenganku dan kejahilanku kukira, diakhir judul itu, aku beri tanda tanya besar-besar.
Aku tersenyum membaca kembali judul itu sambil merenungkan kembali keisenganku. Dan dalam hati, aku berkata, ”Semoga saja Fadhil akan senang menerimanya, bila telah kuselesaikan artikel setengah jadi itu. Semoga pula, ia tidak mempermasalahkan judulnya”.
Pagi itu,dalamhati aku berkata demikian, karena artikel dengan judul seperti itulah, yang rencananya akan kuberikan kepada Fadhil, untuk dimuat di majalah Fakultas Ekonomi, yang diurusnya bersama beberapa teman mahasiswa lain.
Seperti yang sempat disinggung Fadhil malam sebelumnya, saat di Jogja, Fadhil sempat meminta aku untuk menulis sebuah artikel. Ia meminta aku menulis artikel dengan tema seputar kegiatan di kampus. Bila isinya cocok, katanya akan dimuat di majalah Fakultas Ekonomi yang diurus Fadhil. Mungkin pada penerbitan pertama di tahun akademik baru, akhir bulan Juli.
Saat Fadhil memintaku, entah kenapa aku menyanggupi, dan mengatakan insyaAllah minggu siang artikelku itu telah kuselesaikan. Padahal, saat itu, aku sebenarnya lebih senang, bila Fadhil memintaku untuk mengutak-atik desain sampul majalahnya saja. Tapi mungkin, karena aku memang sudah lama tidak menulis artikel untuk dimuat di majalah Fakultas Ekonomi yang diurus Fadhil, aku langsung menyanggupi permintaannya.
Saat itu, aku memang suka menulis. Namun, aku lebih memilih, mengirimkan tulisan-tulisan yang kubuat ke beberapa majalah dan koran lokal di Jogjakarta, daripada memberikannya kepada Fadhil, untuk di muat di majalah Fakultas Ekonomi kampusku. Aku merasa, tulisanku jarang atau bahkan sama sekali tidak ada kaitannya dengan masalah ekonomi, dan tidak cocok untuk di muat di majalah yang diurus Fadhil itu. Lagipula, bila kukirimkan artikelku ke koran atau majalah lokal Jogja, akan ada honornya bila dimuat. Tentu honor seperti itu sangat berguna bagi aku yang masih berstatus mahasiswa.
Pagi itu, karena aku sudah terlanjur menyanggupi, aku harus segera menyelesaikan artikel yang diminta Fadhil. Janji adalah utang yang harus kupenuhi. Dan tidak ada salahnya juga, aku memenuhi permintaan seorang sahabat, membuat artikel untuk dimuat di majalah kampus. Lagipula, sekecil apapun yang kulakukan, bila itu adalah sebuah kebaikan, pasti akan ada manfaatnya.
Saat aku mulai menuliskan artikel untuk Fadhil itu, sebenarnya aku baru merasakan, kalau membuat artikel bertema kehidupan kampus sungguh tidak gampang. Aku mendapat sedikit kesulitan saat akan menuliskan apa yang kupikirkan, padahal kehidupan kampus, seharusnya dengan gampang aku tuangkan dalam sebuah tulisan. Aku yang menjadi mahasiswa saat itu, hampir setiap hari terus berkutat dengan lingkungan kampus.
Karena mengalami kesulitan seperti itu, aku pun jadi merasa, ternyata aku masih perlu banyak berlatih menulis. Dan memanglah, membuat sebuah tulisan, perlu banyak latihan. Bahkan, latihan juga sangat diperlukan dalam banyak hal di kehidupan ini.
Saat itu, ketika mulai menuliskan artikel yang dipesan Fadhil, kurasa ada saja yang tidak pas. Ketika aku coba membaca ulang apa yang telah kutulis, berkali-kali terpaksa aku mengganti yang telah kutulis. Entah itu hanya kata-kata tertentu ataupun juga keseluruhan kalimat. Karena seperti itu pula, artikel yang kubuat untuk Fadhil, sempat aku biarkan begitu saja ketika aku berada di tempat kostku, di Jogja. Baru pagi itu, saat aku berada di Kediri, di rumahku, aku membukanya kembali.
Mungkin juga, yang seperti itu menjadi alasanku, kenapa komputerku kuboyong jauh-jauh dari Jogja ke Kediri. Lagi-lagi, itu hanya mungkin saja. Yang pasti, pagi itu, aku mulai membaca sebentar beberapa paragraf dari artikel setengah jadi itu.
Setelah itu, aku mulai mengeluarkan apa yang kupikirkan untuk meneruskannya. Aku mulai berkonsentrasi menuliskan beberapa kalimat, meneruskan artikel untuk Fadhil itu. Aku harus segera menyelesaikannya.
*****
Pagi itu, sebuah perasaan aneh tiba-tiba muncul dalam diriku. Saat aku mengetik beberapa kata dan kalimat, beberapa kali pikiranku mengarah kepada apa-apa yang tertulis di buku kecil yang baru kutemukan. Khususnya beberapa kalimat yang menyerupai puisi itu.
Dan kurasa, saat seperti itu, pikiranku menjadi lebih jalan.
Entah benar ada pengaruhnya atau tidak, tapi, setelah membaca catatan aneh di buku yang baru kutemukan itu, apa-apa yang ada di otakku sepertinya dengan mudah bisa kukeluarkan melalui sebuah tulisan. Benar-benar seperti air yang ditumpahkan. Mengalir begitu saja. Otakku seperti terasa lebih encer, tapi tidak sampai meleleh.
Mungkin, itu semua hanya sugesti yang ada padaku. Tapi, bagaimanapun, tetap harus selalu kuucapkan, Alhamdulillah.
Aku sungguh merasa lega. Setelah lama berkonsentrasi dan coba untuk terus fokus pada tema yang sudah kupilih sebelumnya, selama kurang lebih satu jam, artikel yang diminta Fadhil, akhirnya bisa kuselesaikan. Lalu, setelah dua kali berturut-turut kubaca ulang, aku print artikel yang kutulis itu. Aku print sebanyak dua rangkap. Satu untuk kusimpan, dan satunya lagi akan kuserahkan kepada Fadhil, saat ia datang lagi kerumahku.
Hari minggu itu, aku tinggal menunggu Fadhil datang untuk mengambil artikel yang ia minta.

0 komentar:

Posting Komentar

  :::  K O L E K S I     F O T O  :::
     
   
 
Dimar Reva Dila ®
 
  :::   Tengah    :::
     
 
 
 
Dimar Reva Dila ®