PAGI YANG INDAH. Hari telah berganti
menjadi hari Minggu, tanggal 8 Juli 2001. Kulihat, saat itu masih jam lima
pagi. Setengah jam sebelumnya aku sudah terbangun.
Setelah pergi sholat subuh berjamaah di masjid
bersama Najmuddin, aku kembali ke kamarku. Begitu juga adikku, ia kembali masuk
ke kamarnya.
Sesampainya di dalam kamarku, pagi itu aku mulai
merenungi diriku sendiri.
Benar-benar tidak kusangka, tanpa ada yang
membangunkan, aku bisa bangun sepagi itu. Biasanya, karena terlalu suka ‘ngalong’
alias nge-batman untuk menyelesaikan tulisan-tulisanku, atau sekedar
membaca buku dan artilkel, aku susah banget untuk bisa bangun pagi. Yang kutahu
ngalong adalah bahasa jawa yang berasal dari kata dasar kalong.
Berarti kelelawar besar. Jadi menurutku ngalong = menyerupai kelelawar,
atau juga = suka melek malam.
Sedangkan Batman, sudah banyak yang tahu seperti
apa tokoh ini. Jadi nge-batman, kurasa setiap orang bisa mengartikannya,
sesuai dengan presepsinya masing-masing terhadap tokoh itu. Yang pasti, karena
suka nge-batman, seringkali juga, aku lebih memilih terjaga hingga waktu
subuh tiba, lalu tidur setelah subuh.
Pagi itu, saat kembali berada di dalam kamarku,
lalu merenungi diriku yang tidak seperti biasanya, tiba-tiba saja tubuhku agak
terasa aneh. Mungkin saja, karena pola tidurku yang tiba-tiba berubah, bangun
tidak seperti biasanya, tubuhku menjadi aneh begitu. Bisa saja seperti itu.
Namun, tidak jadi masalah. Yang jelas, aku sudah berkeinginan segera
menghentikan keanehan yang muncul dan kurasakan dalam tubuhku.
Akhirnya, dengan kebulatan tekad, plus sedikit
semangat empat lima yang ‘kusuntikkan’ dalam hati, aku putuskan untuk segera
menggerakkan tubuhku. Aku segera memakai celana triningku, menggantikan kain
sarung yang kupakai setelah sholat subuh. Lalu aku mengambil jaket yang
tergantung di rak pakaian. Tidak lupa juga, aku memakai kaos kaki dan sepatu
warna putih, yang biasa kupakai untuk bermain bulu tangkis bersama
teman-temanku, di kompleks perumahanku.
Sebelum keluar rumah, aku sempatkan berpamitan
kepada ibuku, yang kulihat sedang berada di dapur bersama Fatimah. Aku lalu
mengambil sebotol air putih dari kulkas, yang terletak di ruang makan dekat
dapur. Saat aku mengambil botol minuman itu, sepintas sempat kulihat Fatimah
cengar-cengir memandangiku. Mungkin karena melihatku memakai celana trining
plus jaket seperti itu. Kubiarkan saja Fatimah dengan berbagai pikirannya. Yang
penting tubuhku bisa terasa lebih enak setelah itu.
Aku kemudian keluar rumah, berlari menyusuri
jalanan diperumahanku, Kompleks Candra Kirana yang masih sepi. Benar-benar
masih sepi. Dan jelas saja masih sepi... masih begitu pagi. Lampu jalan saja
masih menyala. Matahari juga belum terbit. Banyak orang diperumahanku mungkin
belum bangun tidur. Meski subuh hampir lewat.
Bosan hanya mengitari jalanan yang ada di
perumahanku, akupun berlari menuju ke jalan Veteran Kediri. Jalan yang melintas
dari arah timur, berawal di depan kompleks perumahanku hingga kebarat sampai ke
Perempatan Mojoroto, Kediri.
Saat aku menuju ke jalan Veteran itu, kurasakan
benar udara pagi itu sangat segar. Tapi sungguh, lagi-lagi aku merasa aneh.
Sekali lagi, mungkin karena benar-benar tidak terbiasa bangun sepagi itu, meski
sudah coba menggerakkan badanku, masih saja terasa ada yang aneh di tubuhku. Dan yang paling
khusus, rasa aneh itu bersarang dimataku.
Bagaimana tidak aneh. Jelas sekali, saat kucubit
kulit tanganku, aku berada dalam alam nyata. Aku bukan berlari dalam mimpi.
Tapi, setelah melihat apa yang tampak didepanku, serasa aku sedang bermimpi.
Saat aku berlari dan mulai keluar dari jalanan di
perumahanku, tepat di pintu gerbang kompleks perumahanku, dipinggir jalan
Veteran, berdiri seorang gadis. Rambutnya panjang tergurai. MasyaAllah,
dari jauh sudah terlihat cantiknya. Tampak sekilas, seperti bidadari yang
tergambar di TV. Gadis cantik itu memakai gaun. Dan kebetulan sekali, kok
ya
berwarna putih. Gaun putih yang dipakainya memanjang hampir menyentuh tanah,
tapi tidak benar-benar sampai ke tanah.
Pemandangan seperti itu, ditambah dengan kabut,
yang sedikit masih menyelimuti pagi hari, benar-benar membuat suasana yang
kualami, seperti di alam mimpi.
Sesaat kemudian, terlihat gadis itu menoleh
kearahku. Dia
tersenyum....
Wah-waah.....Waduh rek !!! Apa ini?
Kurasakan jantungku benar-benar mulai berdegup kencang. Dadaku berdesir.
Nafasku bertambah cepat.
Tidak terlalu pasti, semua itu terjadi karena aku kaget
melihat si gadis cantik yang tiba-tiba tersenyum kepadaku, atau memang karena
aku yang tidak biasa berlari pagi, hingga nafasku cepat sekali ngos-ngosan.
Yang jelas, saat itu, keringat sudah membasahi tubuhku. Dan yang lebih jelas
lagi bagiku, karena aku belum pernah melihat gadis itu sebelumnya, hampir saja
aku larut dalam pikiran yang macam-macam. Pikiran yang menimbulkan ketakutan
tak beralasan.
Terlintas diotakku pagi itu, meski hanya sesaat,
cerita-cerita yang sering sekali muncul di TV. Ada seorang gadis cantik bergaun
putih, sengaja menemui seseorang di tempat yang masih sunyi dan masih sepi.
Lalu, tiba-tiba si gadis tersenyum. Kemudian, beberapa saat setelah itu, si
gadis mulai melayang sambil tertawa nyaring.... hiii hiiii hiii....
Wuiiihh....!!!
Kebayang jelas dalam benakku, penampakan apa yang sering ada di sinetron
horor. Dadaku terkesiap saat terlintas dalam pikiranku yang seperti itu.
Tapi sungguh. Cepat-cepat kubuang
pikiran seperti itu. Tak ada alasan aku ketakutan tanpa sebab. Lagipula, aku
juga tidak mungkin berbalik arah hanya karena melihat gadis cantik yang
tersenyum padaku.
Lalu kukatakan dalam hati, pada diriku sendiri,
”Hey !!! Ingat Afif !!! Jangan sampai terjebak dalam ketakutan seperti itu
lagi. Yang di depanmu pagi ini, gadis beneran. Nggak ada yang perlu ditakuti,
kecuali Yang Maha Tinggi...”
Kucoba menenangkan diriku. Menjernihkan pikiranku,
dengan mengatakan kata-kata yang seperti itu.
Aku terus berlari. Aku semakin mendekat ketempat
gadis itu berdiri. Meski dengan sedikit kewaspadaan kali ini. Dan kewaspadaan
seperti itu, kukira memang pada tempatnya. Bagaimanapun, aku harus tetap
menjaga pandanganku. Salah satu alasannya, tentu agar aku tidak tersandung
batu, lalu jatuh terguling-guling. Akan sangat memalukan bila itu terjadi.
Apalagi terjadi didepan seorang gadis.
Beberapa saat kemudian, aku melintas di depan gadis
itu. Wajah
si gadis semakin terlihat jelas olehku.
MasyaAllah... benar-benar
cantik... Matanya tajam seperti milik Tamara Blezinky, namun wajahnya sabar keibuan
seperti wajah Mona Ratuliu. Bahkan menurutku, pesonanya melebihi keduanya.
Gadis itu lebih anggun. Mungkin seanggun Ken Dedes jaman dulu. Andai saja, Ken
Dedes tidak tergambar dengan patung yang bertelanjang dada. Mungkin juga
seperti Dewi Sekartaji yang terkenal kecantikannya itu. Atau mungkin juga,
lebih mirip gambaran Zulaeka, wanita yang tergila-gila pada Nabi Yusuf a.s. Dan
lagi-lagi, andai saja aku setampan beliau, juga andai saja gadis itu
tergila-gila padaku.
”Pagi mas....”, sapa gadis itu saat aku melintas
didepannya.
Suaranya masih sangat asing di telingaku, tapi
terdengar lembut. Merdu, semerdu sebuah alunan lagu.
“Hhhhh...hhh.. hiya... pagi....“, jawabku sambil
coba mengatur nafasku. Akupun tersenyum padanya. Menoleh sedikit kearah gadis itu.
Sepintas, kulihat sambil berlari, wajah gadis itu
memang putih bersih, saat terkena terpaan sinar lampu jalan. Bersinar terang
dan bercahaya seperti rembulan. Bukan rembulan kesiangan karena tidak pucat.
Wajahnya benar-benar menarik perhatianku.
Tapi sekilas, terlihat juga olehku, di kedua
pelupuk matanya warna hitam kebiruan.
Meskipun aku tidak begitu yakin dengan yang
kulihat, yang pasti, saat aku melihat kedua pelupuk matanya yang tampak hitam
kebiru-biruan seperti itu, pengaruh sinetron horor kembali merasuk ke dalam
pikiranku.
Lalu, ada satu hal yang kemudian kuperhatikan dari
gadis itu.
Kakinya !! Entah kenapa kuperhatikan kakinya.
Mungkin karena aku pernah mendengar, kata orang-orang, bila kakinya menyentuh
tanah, berarti bukan hantu, bukan dedemit.
Dan ternyata... Hwaduhhh!!! Gadis itu kakinya tidak
menyentuh tanah !!
Tapi, aku justru lebih tenang. Hatiku menjadi adem.
Terasa lebih sejuk. Sesejuk udara pagi itu. Sesejuk wajah gadis itu, bagiku.
Aku seratus persen percaya, gadis itu manusia. Bagaimana tidak percaya? Kakinya
memang tidak menyentuh tanah. Tapi, yang seperti itu karena dia pakai
sepatu...... ( maapkan aku sahabatku J
)
Setelah mengalami hal seperti itu, aku masih terus
berlari. Aku terus mengayunkan kakiku. Aku berlalu dari tempat gadis itu
berdiri. Kunikmati kembali udara pagi.
Aku menyusuri jalan Veteran. Salah satu jalan di
kota Kediri, yang pada hari-hari biasa, selain hari libur, pagi seperti itu
ramai oleh hiruk pikuk anak-anak sekolah. Di jalan Veteran itulah bertempat beberapa
Sekolah Menengah Tingkat Atas di Kotamadya Kediri.
Dengan santai kulewati jalan veteran, karena
jalanan masih begitu sepi. Dan tentu saja, meskipun jalanan masih sepi, aku
lari untuk menikmati udara pagi, dari bagian pinggir jalan. Dengan begitu, kalau
saja sewaktu-waktu ada mobil atau motor yang lewat, aku tidak mengganggunya,
dan juga kecil resikonya aku ditabrak.
Aku lalu meninggalkan jalan Veteran. Aku berlari
mengarah ketimur. Melewati
taman Dewi Sekartaji. Lalu berbelok ke kanan menuju jembatan lama. Sebentar
saja aku sudah melintas di depan Kantor Pembantu Gubernur Jawa Timur, yang
bertempat di Kotamadya Kediri.
Sampai di jembatan lama, jembatan yang melintas
diatas Sungai Brantas, aku memilih tidak menyeberang jembatan itu. Aku berbelok
lagi ke kanan. Melintas di Pasar Bandar yang ada di sebelah kiri jalan.
Setelah mengitari kompleks Polwiltabes Kediri, aku
kembali menuju ke arah Taman Dewi Sekartaji. Sampai di taman Dewi Sekartaji
yang rimbun, aku lalu menuju kembali ke kearah barat. Kembali kutelusuri jalan
Veteran Kediri.
Saat aku kembali melewati gerbang perumahanku yang
ada di sebelah kiri jalan, masih kulihat gadis bergaun putih itu. Aku coba
kembali tersenyum kepadanya, dan ia membalas senyumku. Rasanya, udara pagi
semakin segar saat kulihat senyuman gadis bergaun putih itu. Meski hanya
sepintas, senyumannya sungguh menyejukkan.
Setelah itu, aku terus mengarah ke barat. Di
sebelah kiriku, mulai kulewati SMA Negeri 1 Kediri yang hari minggu itu sepi.
Lalu kulewati Gereja Katolik, sekaligus SMK Katolik Petra Kediri. Sampai di
perempatan jalan, setelah Gereja itu, aku berhenti sebentar. Beberapa kendaraan
melintas dari kedua arah, selatan dan utara. Melewati jalan Wilis yang memotong
Jalan Veteran yang sedang kutelusuri.
Setelah beberapa kendaraan itu melintas, aku
kembali berlari ke arah barat. Di sebelah kiri kulewati SMEA Negeri Kediri.
Lalu kulewati SMA Negeri 2 Kediri. Saat melintas SMA Negeri 2 Kediri, di arah
sebelah kananku, diseberang jalan, kulihat beberapa pasukan Brimob mulai melakukan
persiapan untuk melaksanakan apel pagi di markasnya yang terletak di Jalan
Veteran itu.
Aku masih terus menuju kearah barat, melewati STM
Negeri Kediri. Setelah melewati beberapa kompleks perumahan, aku sampai juga di
perempatan Mojoroto. Setelah perempatan itu, aku lagi-lagi masih terus kebarat
menuju ke arah Goa Selomangleng.
Sambil berlari, kuhirup udara yang benar-benar
bersih dan nyaman pagi itu. Benar-benar kunikmati suasana pagi yang penuh
berkah.....
Setelah melewati Universitas Kadiri yang ada di
sebelah kiri jalan, aku sampai juga di pelataran tempat wisata Goa Selomangleng
yang sepi.
Dengan sesekali minum air putih di botol yang
kubawa dari rumah, pagi itu aku duduk beristirahat di pelataran tempat wisata
Goa Selomangleng. Dari sana, aku bisa menikmati pemandangan pagi yang indah dan
asri. Sesekali aku memandangi puncak gunung Wilis yang tepat berada diatas
sebelah barat Kota Kediri.
Dari tempatku duduk, terlihat Puncak Wilis
menjulang di balik gunung Klotok dan Gunung Maskumambang. Gunung Wilis,
bukanlah gunung yang terlalu tinggi. Tapi kurasa, sebuah gunung yang besar.
Nyatanya, di kaki Wilis, terdapat enam kabupaten yang ada di Jawa Timur. Salah
satunya adalah Kota Kediri yang kutinggali. Yang lain adalah, Kabupaten
Tulungangung, Trenggalek, Ponorogo, Madiun dan Nganjuk. Enam Kabubaten itu
menurut peta yang pernah kupelajari di sekolah, sebagian wilayahnya berada di
kaki Gunung Wilis.
Sambil memandangi puncak Wilis, aku juga sempat
memandangi patung-patung yang ada di sekitar tempatku duduk. Konon,
patung-patung yang terdapat di pelataran Goa Selomangleng itu, adalah
patung-patung peninggalan jaman Prabu Brawijaya. Seorang raja jaman dulu yang
namanya, sekarang diabadikan menjadi nama Stadion basecamp-nya Persik
Kediri.
Setelah puas menikmati pemandangan pagi di
pelataran Goa Selomangleng, aku berdiri. Aku bermaksud pulang kerumah.
Aku kembali berlari-lari kecil sambil menikmati
bangunan-bangunan yang ada disepanjang jalan yang kulewati. Kulihat, lampu di
teras-teras rumah sudah mulai dimatikan. Lampu jalan juga sudah dipadamkan.
Langit sudah terang. Cahaya matahari bersinar dari arah timur, arah yang kutuju
untuk kembali kerumahku.
Saat itu, jalanan sudah mulai terlihat rame. Sesekali kulihat
beberapa orang naik sepeda dan sepeda motor. Sebagian memakai seragam khas
pegawai pabrik rokok Gudang Garam yang ada di kota Kediri. Mereka mulai
berangkat kerja. Mencari nafkah untuk kehidupan keluarganya.
*****
Saat aku berlari menuju kembali kerumah, tepat
ketika sampai di tempat aku menyapa seorang gadis bergaun putih sebelumnya, di
pintu gerbang memasuki kompleks perumahanku, kulihat ada sebuah buku berwarna
hijau muda tertelungkup di tepi jalan. Terlihat masih baru. Dan rasanya aneh.
Masa’ buku yang masih baru seperti itu dibuang? Lagipula, sayang sekali kan
kalau sebuah buku dibuang begitu saja?
”Fif... Mungkin saja buku itu terjatuh. Bukan
dibuang...”, kukatakan seperti itu dalam hatiku, agar aku tidak terjebak dalam
prasangka negatif.
Aku berhenti dan kupungut buku itu.
Benar. Buku itu terlihat masih baru. Kalaupun tidak
baru, pasti yang punya buku, merawatnya dengan baik. Sebuah buku catatan. Lebih
mirip seperti sebuah diary.
Karena sedikit agak basah terkena embun pagi, tanah
menempel di beberapa bagian buku itu. Aku kibas-kibaskan buku itu untuk
membersihkannya dari tanah yang menempel. Kemudian aku lihat-lihat sebentar.
Didalamnya terdapat beberapa tulisan tangan. Sepintas, tulisan-tulisan dalam
buku itu tampak seperti sebuah cerita.
Karena kulihat didalamnya terdapat tulisan, yang sepertinya
tampak sebagai sebuah cerita, keisengan dalam diriku muncul dengan tiba-tiba.
Hari itu hari minggu. So... aku bisa membaca isi buku itu. Itung-itung
sebagai tambahan informasi, sambil minum kopi dan menikmati kue sehabis
mandi... Begitu pikirku.... Lagipula, jika mau dikembalikan, aku tidak tahu
siapa pemiliknya. Lalu dikembalikan kepada siapa?? Kepada yang mbaurekso
(penunggu) jalan??
Dan bila ditinggal, kok ya sayang banget. Buku
sebagus itu dibiarkan terbuang begitu saja.... Akhirnya aku membawa buku itu
kerumah. Kuanggap buku itu sebagai harta temuan tentunya..... dan...
Alhamdulillah... dapat sebuah buku....
*****
Sesampainya dirumah, untuk mengeringkan keringatku,
aku duduk di kursi yang ada diteras. Kuletakkan buku temuanku diatas meja kecil
yang ada disampingku, berdekatan dengan botol air putih yang juga masih kubawa
serta.
Pagi itu, sambil duduk-duduk diteras rumah, aku
mulai memandangi bunga-bunga yang tumbuh di taman kecil, di halaman depan
rumahku.
Taman didepan rumahku itu, tidak begitu luas. Tapi
bisa menyegarkan mataku saat melihatnya. Ditambah lagi, beberapa bunga yang ada
disitu sedang mekar. Saat melihat pemandangan seperti itu, kubisikkan dalam
hati, ”Subhanallah. Segala puji bagi-Mu ya Allah. Yang telah menciptakan
keindahan ini untuk mataku. Sudah selayaknya segala sesuatu bertasbih pada-Mu.
Dan benarlah, hanya Engkau yang memahami tasbih makhluk-Mu. Sebagaimana tasbih
bunga yang mekar dengan indah dihadapanku ini”.
Melihat bunga-bunga dihalaman rumahku itu,
tiba-tiba aku teringat pada sosok bapakku, yang sudah seminggu dinas ke
Surabaya. Pagi itu beliau ada di Surabaya mengikuti sebuah pelatihan untuk para
guru. Bapaklah yang dengan penuh perhatian, selalu merawat semua tanaman yang
ada di taman kecil, di halaman depan rumahku itu.
Merawat bunga-bunga di taman itu, adalah salah satu
kegiatan beliau disamping kegiatan beliau yang lain sebagai seorang guru.
Bapakku selalu menyempatkan waktu untuk memeriksa kesegaran bunga-bunga yang
ada ditaman itu. Beliau kuangap sangat teliti, seperti halnya beliau merawat
dan mendidik kami sekeluarga.
Melihat bunga-bunga ditaman kecil itu, juga sempat
terlintas dalam pikiranku, wajah gadis yang sebelumnya kujumpai di pintu
gerbang perumahanku. ”Wajah gadis itu.....Ya... wajahnya seperti bunga yang
sedang mekar di taman rumahku itu.....”, gumanku.
*****
Beberapa lama, pagi itu aku masih duduk di teras.
Keringat di tubuhku sudah mulai mengering. Dan saat aku berniat akan berdiri
dari tempat dudukku, Fatimah, adikku yang sudah duduk di kelas tiga SMA itu,
muncul dari ruang tamu.
”Mas, aku pergi dulu ya...”, ucap Fatimah saat ia
melewatiku.
”Pergi kemana? Pagi-pagi begini tumben sudah rapi?”
“Ada pengajian di rumah Hajah Juariah. Berangkat
dulu mas... Assalamualaikum.”
Saat itu, Fatimah mengucapkan salam tanpa
memperhatikanku. Ia
terlihat begitu buru-buru. Ia terus melangkah dan segera membuka pintu pagar
halaman rumahku.
”Fatimah...!”, panggilku setengah berteriak, tanpa
menjawab salamnya.
Fatimah berhenti. Tangannya masih memegang pintu
pagar, tapi ia mulai menoleh kearahku. ”Ada apa mas?”
Aku diam dan memasang muka serius saat itu.
Kemudian aku mulai menunjuk-nunjukkan jari telunjukku ke arah Fatimah.
Fatimah terlihat sedikit heran. ”Ada apa mas?”,
tanyanya lagi. Ia tetap menatapku.
Aku masih diam sambil terus menunjuk ke arah
Fatimah. Fatimah
mulai melihat ke sekililingnya. Kuperhatikan wajah Fatimah yang mengenakan
jilbab warna putih kebiruan dan mengenakan rok panjang warna biru tua, sama
dengan warna baju lengan panjangnya itu. Wajah Fatimah yang terlihat cantik
pagi itu, semakin terlihat kebingungan. Aku menahan rasa geli yang mulai hadir
dalam diriku.
”Ada apa sih mas?“, tanya Fatimah lagi.
”Itu... resleting rokmu terbuka tuh...”, ucapku
dengan nada kubuat serius.
Sekonyong-konyong wajah Fatimah memerah. Ia lalu
berlari menuju kedalam rumah.
Aku tersenyum geli melihatnya. Aku mengikuti
adikku. Melangkah masuk ke dalam rumah. Tidak lupa, aku membawa buku temuan
yang sempat kuletakkan diatas meja kecil diteras rumahku. Juga botol minuman
air putihku.
*****
Aku baru saja sampai diruang tamu, ketika kudengar
suara Fatimah berteriak dari arah dapur, ”Mas Afiiiffff !! Jahat sekali !!!
Awas ya !!!!”
Beberapa saat kemudian, dari arah dapur, kulihat
Fatimah bergegas menyongsongku. Ia membawa sebuah parutan kelapa, yang biasa
digunakan ibu. Ia coba mendekatiku.
Aku tersenyum mendengar teriakan dan tingkah
Fatimah yang seperti itu. Rupanya Fatimah telah sadar kalau aku kerjain.
Resletingnya memang tidak terbuka. Aku saja yang memang suka usil kepada adikku
satu ini.
Dengan sigap, akupun melangkah menghindar darinya.
Setelah aku mengganggunya, aku tahu apa yang dipikirkan adikku. Ia pasti ingin
membalas, dengan menggunakan parutan yang dipegangnya. Meskipun aku yakin juga,
Fatimah tentu tidak mungkin sampai hati memarut mukaku, namun aku tetap
menghindarinya. Untuk berjaga-jaga.
Fatimah terus berusaha mengejarku dengan muka mulai
cemberut.
Aku memutari meja yang ada di ruang tamu, sambil
tertawa cekikikan. Terus menghindar dari kejaran Fatimah.
Beberapa lama kami kejar mengejar di ruang tamu.
Saat Fatimah berhenti, aku pun berhenti. Saat Fatimah berbalik arah, aku pun
berbalik arah. Aku juga masih terus cekikikan melihat Fatimah yang semakin
nampak gusar.
*****
”Afif !!!! Fatimah !!!!”, tiba-tiba suara ibuku
terdengar keras di telingaku.
Aku berhenti dan Fatimah pun demikian. Ternyata ibu
sudah berada di ruang tamu memperhatikan kami berdua.
”Kalian ini... !!! Pagi-pagi sudah ribut sekali !!”
Suara ibu terdengar meninggi, tapi aku tahu, beliau tidak marah. Aku masih
senyum-senyum menatap Fatimah.
”Fatimah, kemarikan parutan itu ! Ibu akan
menggunakannya. Lebih baik kamu cepat berangkat, nanti telat”, ucap ibu ke
Fatimah, lalu beralih kepadaku, ”Dan kamu Afif !! Kamu selalu saja suka
mengganggu adikmu ! Kalian ini sudah jarang ketemu, tapi kalau ketemu pasti
seperti ini. Daripada kamu terus menganggu adikmu, lebih baik kamu sekarang
mandi, lalu bersihkan gudang bapak, mumpung kamu dirumah. Nanti kalau bapak
datang, beliau tidak perlu repot-repot membersihkannya.”
Setelah ibu berkata seperti itu, Fatimah terlihat
melirikku sambil menyerahkan parutan kelapa yang dipegangnya kepada ibu. Aku
masih tersenyum melihatnya. Senyum untuk menggodanya.
”Bu, aku berangkat... Assalamualaikum”, ucap
Fatimah kemudian. Ucapan itu hanya ditujukannya kepada ibu.
”Waalaikum salam....”, jawabku mendahului jawaban
salam dari ibuku.
Fatimah merengut sambil terus melangkah kearah
pintu.
Saat Fatimah sampai di pintu, aku berkata padanya,
”Hei... Adik... lain kali hati-hati dengan resletingnya....”
Fatimah memandangku, mengepalkan jari-jarinya dan
mengarahkan tangannya yang lembut ke arahku. ”Awas..!!! Tunggu nanti, kalau aku
sudah pulang.....”, kata Fatimah.
”Aku tunggu kamu pulang....”, ucapku sambil
tersenyum.
Fatimah tidak lagi memperdulikan ucapanku. Ia terus
melangkah keluar meninggalkan aku dan ibu di ruang tamu. Dan dengan sikapnya
yang seperti itu, aku yakin, sepulang dari pengajian, Fatimah tentu tidak akan
lagi punya niat untuk membalas dendam atas keusilanku padanya. Lagipula,
selepas mengikuti pengajian, biasanya hati seseorang menjadi lebih lunak.
Seringkali juga di bicarakan dalam pengajian, kalau membalas dendam tidak akan
menyelesaikan masalah. Malah tambah masalah.
Pagi itu, ibu terus menggeleng-gelengkan kepala
melihat kami berdua seperti itu. Kurasa, ibu bisa memaklumi tingkah kami.
Setelah menggeleng-gelengkan kepala, ibu tidak mengucapkan apa-apa lagi. Beliau
hanya langsung melangkah kembali ke dapur, sambil membawa parutan kelapa yang
hampir saja disalahgunakan oleh Fatimah.
Setelah ibu pergi meninggalkanku, dengan senyum
kemenangan, aku melangkah ke kamarku. Aku menaruh buku temuanku dimeja
komputer. Setelah itu, aku menaruh botol minuman air putihku di kulkas, membuat
secangkir kopi, lalu bergegas mandi.
*****
Jam tujuh, selepas mandi, aku kembali berada
dikamarku. Aku menghadap meja tempat aku menaruh komputerku. Aku menyalakan
komputerku, lalu memutar beberapa lagu. Itu kebiasaanku di depan komputer sejak
dulu, bila aku sedang sendiri. Setelah kubetulkan malam sebelumnya, komputerku
benar-benar sudah kembali normal. Aku mendengarkan lagu-lagu itu sambil
menikmati kopi yang telah kubuat sebelum aku mandi.
Kemudian, aku mengambil buku tulis berwarna hijau
muda, yang kutemukan saat aku berlari pagi sebelumnya. Aku mulai membaca halaman
pertama..... kurasa belum ada yang istimewa. Halaman kedua, ketiga, keempat dan
kelima... sama saja.... Tidak begitu berkesan menurutku saat itu. Hanya pandangan
pribadiku tentunya.
Aku sudah hampir meletakkan buku itu. Tapi, saat
aku mulai membuka halaman keenam dari buku kecil itu, ada satu hal yang membuat
hatiku mulai tertarik. Halaman keenam dari buku itu, isinya kurasa sangat aneh.
Hanya ada tiga kata, AKU TIDAK TAHU. Tertulis sangat besar. Memenuhi satu
halaman.
Saat kubalik halaman berikutnya, halaman ketujuh,
tiga kata itu juga masih ada. Dan lagi-lagi, tertulis dalam satu halaman penuh.
Aku terus membuka-buka halaman berikutnya. Aneh dan mengherankan. Tiga kata ’aku
tidak tahu’
masih saja ada. Saat kuhitung, tiga kata itu, ternyata tertulis persis di lima
belas halaman. Benar-benar buku yang aneh !!
Untung saja, tidak semua halaman buku yang
kutemukan itu hanya berisi tiga kata ’aku tidak tahu’. Bila begitu isinya,
mungkin aku bisa mendaftarkannya, sebagai sebuah rekor buku temuan yang aneh,
ke Museum Rekor Indonesia. Atau, bisa juga bisa didaftarkan sebagai rekor
dunia. Dunia aneh tulis menulis. Dunia aneh perbukuan internasional.
Setelah halaman-halaman yang hanya berisi tiga kata
itu, di halaman selanjutnya, ada beberapa tulisan. Tidak terlalu panjang.
Isinya seperti curhat dan juga mirip seperti puisi.
Aku mulai membaca tulisan itu.......
Air bagian besar kehidupan
Membawa kedamaian dan ketentraman
Air mendinginkan dan menyegarkan
Cahaya menunjukkan jalan
Cahaya menerangkan
Cahaya mengalahkan kegelapan
Api membakar tanpa memilih
Menghancurkan tanpa memilah
Tapi api melelehkan besi
Memurnikan emas dari campuran
Api matahari……
Menebarkan kehangatan sepanjang
hari
Dan…..
Rona merah ada di wajahmu
Kala canda tawa melalaikanku
Kilat bersembunyi dibalik
cahaya matamu
Menyilaukan dan menghentikan
ceriamu
Biru menyelimuti bibirmu
Dan…..
Sungguh lidahku tajam
Bahasaku menyayat
Tapi aku tak memahaminya
hinggga kau terdiam
Sungguh….
Aku tak pernah berpikir
bahayanya
Hampir meluluhkan keteguhan
Menghamburkan mutiara kehidupan
Membakar ketenangan
Menggunggah amarah
Dan……
Aku tahu luka baru saja
menghampiri
Ketika kau terdiam
Hampir saja kau mengumbar
tangis
Mengalirkan air suci dari
keindahan warnamu
Kalaupun kau menangis
Aku tak kuasa menahannya
Kalaupun kau menumpahkan amarah
Tak mampu kuhentikan api dalam
nuranimu
Tumpahkan bila ingin kau
tumpahkan
Ledakkan bila ingin kau
ledakkan
Aku menerima dan aku tak akan
mengeluh
Dan akhirnya……
Sungguh telah kulihat
kelembutan menutup murka
Kesejukan mengalahkan kegerahan
Penguasaan jiwa yang halus
mengalahkan bara yang kasar
Terima kasih…
Kau menahannya
Kau menyembunyikannya
Kau memendamnya
Dan tak menghamburkannya
Tak mencurahkannya
Tak meluncurkan anak panahnya
Untuk melukai yang ada dihadapanmu
Menggores luka di dalam hati
Menyalakan nurani
Menggelapkan mata
Merusak kemurnian jiwa
Tapi….
Kali ini kulakukan yang belum
pernah kulakukan
Kuhadirkan yang belum pernah
kuhadirkan
Kuminta yang belum pernah kuminta
Jangan melihat pada mataku
Karena mataku tercipta untuk
lebih tajam dari kataku
Jangan mendengar suaraku
Karena suaraku tercipta lebih
menggelegar dari halilintar
Jangan perhatikan bahasaku
Karena bahasaku terhambur
seperti batu di lembah kehidupan
Jangan berusaha membaca
cahayaku
Karena sinarku mungkin tak
seterang sinar karunia yang ada padamu
Dan…..
Inilah…..
Air…..
Sungguh aku pasti akan menerima
murkamu
Bila kau menginginkannya dariku
Meski kau singkirkan aku dengan rona merah kemarahanmu
Kau seret aku bersama kilat
yang ada dalam matamu
Aku berdiam dan akan terus
tersenyum
Bahagia menatap masa dan terus
berdiri
Menanti pertemuan denganmu
Tapi…
Jangan katakan aku melupakanmu
Jangan katakan yang kau beri
tak berharga bagiku
Jangan katakan aku mengingkari
kasihmu
Jangan….
Kumohon…..
Karena…
Itu akan meluluhlantahkan pondasi dalam diriku
Melumatkan pijakanku
Menggoyahkan persendian
tulangku
Merontokkan bulu-bulu
kepekaanku
Mencabik-cabik halusnya selimut
jiwaku
Membiaskan cahaya yang kutangkap darimu
Dan…..
Inilah…..
Akhirnya…..
Kusenandungkan yang kusimpan
dalam diamku
Kubisikkan yang terbersit dalam
hatiku
"Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia.
Mahasuci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka."
*****
Ada rasa adem dan rasa tentram yang bercampur
dengan sedikit rasa sesak dan rasa miris dalam dadaku, setelah aku membaca
tulisan itu. Mungkin saja, karena terlalu larut pada tulisan yang kubaca, aku
jadi merasa seperti itu.
Akhirnya, meskipun masih ada beberapa lagi tulisan
yang ada di buku itu, aku terpaksa berhenti sebentar. Aku terdiam agak lama,
mencoba menenangkan diriku terlebih dulu. Aku menarik nafas panjang. Dan aku
mulai merasa nyaman kembali.
Setelah aku merasa tenang, pikiranku juga mulai
bisa fokus, kulanjutkan kembali membaca isi buku itu. Tak ada lagi yang sangat
menarik perhatianku saat itu. Tulisan selanjutnya dalam buku itu, hanya berisi
catatan tentang beberapa hal. Ditambah beberapa tulisan yang sepertinya
terlihat sebagai rumus-rumus karena terdiri dari angka-angka seperti persamaan
matematika. Entah rumus-rumus apa aku tidak bisa paham. Tidak ada judul ataupun
nama tertentu yang tertulis dimasing-masing rumus itu. Aku pikir, yang pasti
paham, hanyalah pemilik buku itu, karena tentu, dialah yang mencatatkannya.
Sesaat kemudian, ketika aku mulai memperhatikan
halaman terakhir buku itu, mataku tertuju pada sebuah kalimat yang tertulis
diakhir catatan-catatan itu.
Aku sedikit ingin tertawa, ketika membaca kalimat
terakhir yang kutangkap dengan mataku. Tertulis di halaman paling belakang buku
itu, ”Wahai
Manusia ! Barangsiapa diantara kalian menemukan catatan ini, tolong kembalikan
! Ini bukan ancaman juga bukan peringatan. Hanya sebuah permohonan. Ini no
teleponku” (Shinta : 081-2136xxxxx)
Wowhoohooo...!!! Punya selera humor yang aneh !!
Shinta, yang mungkin adalah benar pemilik buku itu, kurasa punya selera humor
yang tidak biasa.
Aku pun langsung meraih ponsel-ku, menulis
sms yang tidak pendek : ”Assalamu alaikum ww... Saya Afif, seorang
manusia biasa, telah menemukan buku catatan anda, tanpa sengaja kecuali saat
membacanya. Bagaimana cara saya mengembalikan buku anda?”
Aku mengirimkan sms yang kutulis, kenomor yang ada
di buku catatan kecil itu, sambil terus tersenyum. Lalu kuletakkan buku kecil
itu, disamping komputerku.
*****
Setelah berinteraksi sebentar dengan isi buku
catatan kecil yang sedikit aneh pagi itu, aku lalu menikmati secangkir kopi
yang sudah mulai dingin, sambil memperhatikan beberapa file artikel di
komputerku. Aku memilih dan membuka satu file artikel setengah jadi, yang
sebelumnya sempat kutulis di tempat kostku, dan kuberi judul, ”Kampus, Tempat Cari Ilmu atau
Tempat Gaul”. Karena keisenganku
dan kejahilanku kukira, diakhir judul itu, aku beri tanda tanya besar-besar.
Aku tersenyum membaca kembali judul itu sambil
merenungkan kembali keisenganku. Dan dalam hati, aku berkata, ”Semoga saja
Fadhil akan senang menerimanya, bila telah kuselesaikan artikel setengah jadi
itu. Semoga pula, ia tidak mempermasalahkan judulnya”.
Pagi itu,dalamhati aku berkata demikian, karena
artikel dengan judul seperti itulah, yang rencananya akan kuberikan kepada
Fadhil, untuk dimuat di majalah Fakultas Ekonomi, yang diurusnya bersama
beberapa teman mahasiswa lain.
Seperti yang sempat disinggung Fadhil malam
sebelumnya, saat di Jogja, Fadhil sempat meminta aku untuk menulis sebuah
artikel. Ia meminta aku menulis artikel dengan tema seputar kegiatan di kampus.
Bila isinya cocok, katanya akan dimuat di majalah Fakultas Ekonomi yang diurus
Fadhil. Mungkin pada penerbitan pertama di tahun akademik baru, akhir bulan
Juli.
Saat Fadhil memintaku, entah kenapa aku
menyanggupi, dan mengatakan insyaAllah minggu siang artikelku itu telah
kuselesaikan. Padahal, saat itu, aku sebenarnya lebih senang, bila Fadhil
memintaku untuk mengutak-atik desain sampul majalahnya saja. Tapi mungkin,
karena aku memang sudah lama tidak menulis artikel untuk dimuat di majalah
Fakultas Ekonomi yang diurus Fadhil, aku langsung menyanggupi permintaannya.
Saat itu, aku memang suka menulis. Namun, aku lebih
memilih, mengirimkan tulisan-tulisan yang kubuat ke beberapa majalah dan koran
lokal di Jogjakarta, daripada memberikannya kepada Fadhil, untuk di muat di
majalah Fakultas Ekonomi kampusku. Aku merasa, tulisanku jarang atau bahkan
sama sekali tidak ada kaitannya dengan masalah ekonomi, dan tidak cocok untuk
di muat di majalah yang diurus Fadhil itu. Lagipula, bila kukirimkan artikelku
ke koran atau majalah lokal Jogja, akan ada honornya bila dimuat. Tentu honor
seperti itu sangat berguna bagi aku yang masih berstatus mahasiswa.
Pagi itu, karena aku sudah terlanjur menyanggupi,
aku harus segera menyelesaikan artikel yang diminta Fadhil. Janji adalah utang
yang harus kupenuhi. Dan tidak ada salahnya juga, aku memenuhi permintaan
seorang sahabat, membuat artikel untuk dimuat di majalah kampus. Lagipula,
sekecil apapun yang kulakukan, bila itu adalah sebuah kebaikan, pasti akan ada
manfaatnya.
Saat aku mulai menuliskan artikel untuk Fadhil itu,
sebenarnya aku baru merasakan, kalau membuat artikel bertema kehidupan kampus
sungguh tidak gampang. Aku mendapat sedikit kesulitan saat akan menuliskan apa
yang kupikirkan, padahal kehidupan kampus, seharusnya dengan gampang aku
tuangkan dalam sebuah tulisan. Aku yang menjadi mahasiswa saat itu, hampir
setiap hari terus berkutat dengan lingkungan kampus.
Karena mengalami kesulitan seperti itu, aku pun
jadi merasa, ternyata aku masih perlu banyak berlatih menulis. Dan memanglah,
membuat sebuah tulisan, perlu banyak latihan. Bahkan, latihan juga sangat
diperlukan dalam banyak hal di kehidupan ini.
Saat itu, ketika mulai menuliskan artikel yang
dipesan Fadhil, kurasa ada saja yang tidak pas. Ketika aku coba membaca ulang
apa yang telah kutulis, berkali-kali terpaksa aku mengganti yang telah kutulis.
Entah itu hanya kata-kata tertentu ataupun juga keseluruhan kalimat. Karena
seperti itu pula, artikel yang kubuat untuk Fadhil, sempat aku biarkan begitu
saja ketika aku berada di tempat kostku, di Jogja. Baru pagi itu, saat aku
berada di Kediri, di rumahku, aku membukanya kembali.
Mungkin juga, yang seperti itu menjadi alasanku,
kenapa komputerku kuboyong jauh-jauh dari Jogja ke Kediri. Lagi-lagi, itu hanya
mungkin saja. Yang pasti, pagi itu, aku mulai membaca sebentar beberapa
paragraf dari artikel setengah jadi itu.
Setelah itu, aku mulai mengeluarkan apa yang
kupikirkan untuk meneruskannya. Aku mulai berkonsentrasi menuliskan beberapa
kalimat, meneruskan artikel untuk Fadhil itu. Aku harus segera
menyelesaikannya.
*****
Pagi itu, sebuah perasaan aneh tiba-tiba muncul
dalam diriku. Saat aku mengetik beberapa kata dan kalimat, beberapa kali
pikiranku mengarah kepada apa-apa yang tertulis di buku kecil yang baru
kutemukan. Khususnya beberapa kalimat yang menyerupai puisi itu.
Dan kurasa, saat seperti itu, pikiranku menjadi
lebih jalan.
Entah benar ada pengaruhnya atau tidak, tapi,
setelah membaca catatan aneh di buku yang baru kutemukan itu, apa-apa yang ada
di otakku sepertinya dengan mudah bisa kukeluarkan melalui sebuah tulisan.
Benar-benar seperti air yang ditumpahkan. Mengalir begitu saja. Otakku seperti
terasa lebih encer, tapi tidak sampai meleleh.
Mungkin, itu semua hanya sugesti yang ada padaku.
Tapi, bagaimanapun, tetap harus selalu kuucapkan, Alhamdulillah.
Aku sungguh merasa lega. Setelah lama
berkonsentrasi dan coba untuk terus fokus pada tema yang sudah kupilih
sebelumnya, selama kurang lebih satu jam, artikel yang diminta Fadhil, akhirnya
bisa kuselesaikan. Lalu, setelah dua kali berturut-turut kubaca ulang, aku print
artikel yang kutulis itu. Aku print sebanyak dua rangkap. Satu untuk kusimpan,
dan satunya lagi akan kuserahkan kepada Fadhil, saat ia datang lagi kerumahku.
Hari minggu itu, aku tinggal menunggu Fadhil
datang untuk mengambil artikel yang ia minta.
0 komentar:
Posting Komentar