Rabu, 28 November 2012

Engkau Berada Dimana ?




AKU SEDANG BERADA DI KAMARKU. Malam minggu tanggal 7 Juli 2001.
Sabtu sore itu, selepas isya, Fadhil bertamu kerumahku. Setelah terdengar menyapa ibu yang sedang nonton TV di ruang keluarga, ia langsung masuk ke kamarku.
”Serius banget, Fif? Sedang apa kamu?”, tanya Fadhil saat ia menaruh tasnya di tempat tidurku.
”Ada yang nggak beres dengan komputerku”, jawabku sambil terus memperhatikan komputerku. Komputer, yang sehari-hari, sebenarnya berada di kamar kostku, di Jogja. Komputer itu, siang hari sebelumnya, kuboyong ke Kediri.
Sore itu, aku sudah menghubungkan kabel dari active spiker ke komputerku. Bermaksud mendengarkan beberapa lagu. Namun, tiba-tiba ada beberapa gangguan di shoftware komputerku. Aku harus memperbaikinya terlebih dulu agar bisa memenuhi keinginanku.
”Apanya yang nggak beres”, tanya Fadhil lagi.
”Ada beberapa program yang rusak. Ini lagi kuperbaiki.”
”Coba aku lihat !!”
Fadhil menaruh tasnya di kasurku, mendekat dan ikut memperhatikan komputerku. Aku mulai memandangi sahabatku. Lalu, tiba-tiba, tanpa bertanya-tanya dulu, Fadhil memencet tombol power agak lama.
”Heehhh !! Kamu apain, Dhil !? Jangan ngaco kamu !! Aku harus mengulang lagi kalau begitu yang kamu lakukan !!”, teriakku kaget setelah menyadari yang dilakukan Fadhil. Aku langsung memperhatikan monitor dihadapanku. Dan jelas saja, tanpa hambatan apapun, monitor itu langsung mati.
”Dasar nggak tahu diri...”, gerutuku dalam hati.
Aku memandangi Fadhil dengan perasaan ’3G’. Geram, gusar dan gemes. Ia selalu begitu. Melakukan sesuatu menurut apa yang ia pikirkan. Tidak mau bertanya dan tidak melihat situasi lebih dulu. Dan akibatnya, bila semua yang ia lakukan berkaitan denganku, seringkali aku justru harus mengulang hampir semua hal yang kulakukan, seperti saat aku memperbaiki komputerku, sore itu.
Aku kembali memperhatikan komputerku dengan perasaan putus asa. Rasanya, aku ingin berteriak-teriak. Tinggal sedikit saja, software yang kuperbaiki sudah akan kelar. Tapi karena ulah Fadhil yang ceroboh itu, aku harus mengulang dari awal. Semuanya.
Aku masih terus diam. Dan Fadhil, malah cengar-cengir tanpa perasaan bersalah, yang seharusnya ia tampakkan.
Aku sudah sedikit jengkel dengan tingkahnya. Beruntung, tidak lama kemudian Najmuddin, adikku yang bungsu, dan Rony, teman sekelas disekolahnya yang juga tetanggaku, menghampiri aku dan Fadhil. Mereka bergabung di kamarku. Menyapa kami dan mulai berbincang-bincang dengan Fadhil.
Akhirnya, aku minta ijin untuk mengurus komputerku sebentar. Sementara aku memperbaiki komputerku, kubiarkan Fadhil berbicara dengan Najmuddin dan Rony. Mereka bertiga terlihat mulai asyik mengobrol kesana-kemari di dalam kamarku.
Kamarku, salah satu ruang yang ada di rumah orang tuaku itu, sebenarnya tidak begitu besar. Tetapi akan terasa nyaman, untuk sekedar digunakan mengobrol bersama teman-temanku seperti sore itu. Di kamarku, seperti kamar-kamar lain pada umumnya, ada satu tempat tidur yang terletak di bagian tepi ruangan. Disampingnya, tepat menghadap ke jendela, ada satu meja belajar, yang sementara kumanfaatkan untuk menaruh komputerku. Di sebelah meja belajar, ada satu rak berdiri kokoh. Rak yang multifungsi. Bagian bawah dan samping rak itu, bisa berfungsi sebagai lemari pakaian, sedang bagian atasnya bisa aku gunakan untuk menaruh beberapa buku dan juga beberapa perlengkapan lain.
Semua peralatan yang ada di kamarku, sudah kuatur sedemikian rupa dengan tujuan, bila aku dan teman-teman sedang bercakap-cakap di kamar seperti sore itu, kamarku tidak terasa sempit.
Di dua sudut ruangan kamarku yang menghadap ke pintu, terpampang dua buah active spiker. Dari kedua active spiker itulah seringkali kudengarkan suara lagu. Karena aku suka mendengar beberapa lagu saat berada di kamar itu, bapakku sengaja mendesain kamarku, sebagai ruangan kedap suara. Kata beliau, agar suara lagu tidak terlalu keras terdengar dari luar ruangan. Maklum, kamarku berdekatan dengan kamar beliau. Selain itu, kamarku juga terletak, di bagian pojok depan rumah orang tuaku, dan langsung menghadap ruang tamu.
Kamarku, yang juga memuat beberapa peralatan yang selalu setia menemaniku semenjak aku duduk di bangku SMA itu, sudah mulai jarang kugunakan. Aku, saat itu, lebih banyak menghabiskan waktu di kamar kost-ku di Kota Jogja. Aku harus kost, karena saat itu, aku sedang menempuh kuliah di Fakultas Ekonomi, Universitas Gadjah Mada. Salah satu universitas yang telah berhasil mencetak beberapa tokoh Nasional. Dan aku, sangat bersyukur bisa merasakan kuliah disana, meskipun aku merasa tidak termasuk dalam jajaran tokoh-tokoh yang di cetak universitasku itu. Bagaimanapun, masih banyak orang yang belum bisa merasakan bangku kuliah, bahkan hingga saat ini.
*****
Aku masih berkutat dengan komputerku.
Sedangkan Fadhil, Najmudin dan Rony masih berbincang-bincang diatas karpet yang ada di lantai kamarku, dengan sangat gembira dan penuh suka cita.
Sambil memperbaiki komputerku, sesekali aku coba memperhatikan perbincangan mereka. Asyik benar mereka bertiga dalam perbincangan itu.
Saat para pemuda, pada malam minggu seperti sore itu, mungkin sibuk dengan para kekasihnya, justru dengan semangat aneh yang menggebu-gebu, Fadhil berbicara tentang cita-citanya. Fadhil terlihat sangat optimis ketika berbicara kepada Najmuddin dan Rony. Dan kukira, Fadhil berbicara dengan sedikit memprovokasi. Ia berbicara tentang tujuan hidupnya. Berbicara tentang bagaimana cara ia meraihnya. Berbicara tentang apa yang telah dan akan di lakukannya, untuk mewujudkan cita-citanya.
Perbincangan mereka sore itu, menurutku, juga suatu perbincangan yang hangat, meski Fadhil terkesan lebih banyak mendominasi. Wajarlah bila Fadhil mendominasi. Fadhil jauh lebih tua dari Najmuddin dan Rony. Baik dari segi ilmu dan dari segi umur. Biasanya, dalam sebuah perbincangan seperti itu, yang lebih tua pasti dianggap lebih banyak pengalaman, hingga akhirnya ia mendominasi perbincangan.
Namun demikian, meski kadang kuanggap wajar, kurasa tidak sepenuhnya benar bila dalam perbincangan seperti itu, yang lebih tua seperti Fadhil haruslah yang lebih mendominasi pembicaraan. Nyatanya kini, ada iklan, ’Belum Tua Belum Boleh Bicara’. Lalu diikuti, ’Tanya Kenapa?’. Mungkin suatu saat akan ada penyair yang coba menuliskan sesuatu untuk menerangkan iklan itu, ’Kenapa Tidak Bertanya? Apa Karena Dilarang Bicara?’.
Sore itu, tentu belum ada iklan seperti itu. Dan entah hanya sebuah kebetulan, atau memang disengaja, sebelum aku sempat berkomentar atas perbincangan mereka bertiga sore itu, kudengar dengan jelas, setelah Fadhil berbicara panjang lebar, Najmuddin yang usianya lebih muda, juga lantas bertanya kepada Fadhil, “Lalu kesimpulannya apa, mas Fadhil? Keinginan mas Fadhil, seperti apa?”
Setelah itu, Rony dengan antusias juga ikut bertanya, ”Lalu, apa yang harus kita lakukan? Dan, apa yang ingin mas lakukan?”
Saat Najmuddin dan Rony bertanya kepadanya, Fadhil terdiam sebentar. Ia tampak mengingat-ingat sesuatu.
Dan tak kusangka, saat itu, Fadhil kemudian menjawab dengan kata-kata, yang kurasa benar-benar mengusik gendang telingaku. Juga hatiku.
Aku ingin...., ucap Fadhil dengan nada optimis, ”Bersama kekasih tercinta. Bersama sahabat sejati yang selalu setia. Bersama keluarga dan kerabat lainnya. Bersama-sama melakukan sesuatu yang membuat indah dunia. Bersama-sama menempuh jalan lurus yang menuju cahaya, melaksanakan perintah-perintah Allah, dan bersama-sama berusaha menjauhi larangan Allah.”
Karena Fadhil menjawab dengan kata-kata itu, langsung saja kuhentikan aktifitasku dengan komputer. Meskipun komputerku belum selesai kuperbaiki, aku bergabung dengan mereka bertiga.
Aku duduk disamping Fadhil. Kupandangi wajah Fadhil yang mulai menyunggingkan sebuah senyuman. Setelah itu, ganti kupandangi Najmuddin dan Rony. Wajah Najmuddin dan Rony, mulai berseri-seri. Mata mereka berbinar-binar. Mereka berdua terus mengangguk-angguk.
Kata-kata Fadhil sore itu, terlihat mampu membangkitkan semangat Najmuddin dan Rony yang sejak semula setia mendengarkannya. Sedangkan bagiku, kata-kata itu membangkitkan sesuatu yang lain. Aku masih ingat betul, kata-kata yang diucapkan Fadhil itu, adalah kata-kata yang di hafalnya dari sebuah tulisan. Tulisan seorang sahabat kami, waktu masih di SMA dulu.
Aku masih terus memandangi Fadhil, Najmuddin dan Rony. Terlihat semangat mereka bertiga, semakin bergelora. Mereka pun melanjutkan perbincangan, masih dengan penuh kesuka-citaan dan keramahan khas anak muda. Rony dan Najmuddin, yang saat itu duduk di kelas Satu SMA, juga mulai banyak bertanya kepada Fadhil.
Meski aku memang bergabung dengan mereka bertiga, sore itu, dengan sengaja aku hanya berdiam diri. Aku hanya terus mengikuti perbincangan mereka. Memperhatikan apa-apa yang mereka bicarakan.
Di pojok dunia, para peneliti percaya bahwa, tidak adanya pelepasan hormon stres dengan tertawa, tidak adanya pemenuhan kebutuhan oksigen yang meningkat karena sel-sel otot jantung yang bergerak cepat, dan bertambahnya kekentalan keping-keping darah, yang kemudian memicu pembekuan darah, bisa menjelaskan bagaimana kemarahan meningkatkan peluang terjadinya serangan jantung. Ketika marah, orang juga jarang yang bisa tertawa karena hormon stres meningkat, detak jantung mengalami percepatan melebihi batas wajar, lalu pemenuhan oksigen terhambat. Itu semua menyebabkan naiknya tekanan darah pada pembuluh nadi, dan oleh karenanya, memperbesar kemungkinan seseorang terkena serangan jantung.
Saat para ahli percaya yang demikian, di pojok rumah orang tuaku yang sederhana, Fadhil, Najmuddin dan Rony, percaya bahwa kemarahan justru akan meningkatkan suatu motivasi yang sangat besar dalam diri seseorang. Orang yang merasa letih, lesu, dan selalu loyo, jadi bersemangat karena kemarahan yang ada dalam dirinya, membakar hati dan pikirannya.
Menurut mereka bertiga, kemarahan mungkin akan sangat bermanfaat ketika seseorang mampu mengarahkannya. Akan memberikan sebuah hasil berupa tindakan yang lebih efisian, tepat sasaran, dan berpengaruh besar dalam rangka mengatasi suatu permasalahan. Paling tidak, seperti itulah yang kutangkap dari gelora semangat yang ada pada mereka, saat mereka bertiga berbincang-bincang.
*****
Jam delapan, perbincangan itu berakhir.
Najmuddin dan Rony minta ijin menghentikan perbincangan hangat itu. Mereka berdua, kemudian meninggalkan kamarku. Mereka berdua pergi menuju kamar Najmuddin. Katanya, akan mengerjakan sesuatu di kamar Najmuddin.
Setelah Najmuddin dan Rony pergi, Fadhil terlihat memperhatikan jam dinding di kamarku. Setelah itu, ia menatapku. Hanya sebentar. Ia kemudian bertanya apakah komputerku sudah baik. Kujawab belum, sambil kembali sedikit menggerutu.
Fadhil masih terus menatapku. Lalu ia menarik nafas dalam-dalam. Terlihat sedikit sedih. Tetapi, dengan cepat, ia kembali tampak bersemangat.
”Fif, aku pergi dulu kali ini. Besok saja kita bertemu lagi. Sebenarnya aku ingin bicara banyak. Tapi lebih baik kamu perbaiki dulu komputermu”, kata Fadhil sambil berdiri dan mengambil tas yang sebelumnya ia taruh di kasurku.
”Kamu mau kemana?”, tanyaku.
Fadhil tidak memperhatikan pertanyaanku. Ia sibuk dengan isi tasnya. Setelah itu, Fadhil menyerahkan beberapa lembar tulisan kepadaku.
Saat memberikan kertas-kertas itu, dengan bersemangat, Fadhil mengatakan kepadaku, ”Fif, baca lagi tulisan ini ya! Kuharap kamu tidak bosan membacanya. Dan semoga, komputermu beres malam ini. Seperti janji kita waktu di Jogja, besok aku akan kesini, mengambil artikel yang kemaren sempat kuminta. Ingat, kamu sudah berjanji kepadaku, artikel yang kuminta itu akan kamu selesaikan besok pagi.”
Fadhil berhenti sebentar, lalu melanjutkan kata-katanya, ”Besok siang, kalau informasi yang kemarin kuterima benar, kita insyaAllah akan pergi mencarinya. Tadi, sebelum kesini, aku baru dapat informasi lagi, dari beberapa teman yang lain. Mereka, juga pernah melihatnya berada di Malang. Aku pastikan dulu informasi yang kuterima. Kalau benar seperti itu, besok kita bicarakan. Mungkin besok, kita harus pergi ke Malang. Siapa tahu bisa ketemu dengannya.”
Aku hanya mengangguk, belum menanggapi kata-kata sahabatku itu. Kuperhatikan sebentar tulisan yang ada di kertas itu.
Oh... !! Ternyata tulisan itu adalah salah satu tulisan Supriadi, teman satu SMA kami dulu. Dalam tulisan itulah tercantum kata-kata yang sebelumnya sempat mengusik telingaku, ketika diucapkan Fadhil, kepada Rony dan Najmuddin.
Aku menghela nafas.
Aku mengerti, sore itu, ternyata Fadhil sedang membicarakan Supriadi, seorang sahabatku yang sampai saat itu masih kami cari keberadaannya.
Supriadi adalah sahabat dekat kami. Aku, Fadhil dan Supriadi, dulu seringkali menghabiskan waktu bersama-sama. Kami bertiga sama-sama menjadi pengurus OSIS ketika masih duduk dibangku SMA. Supriadi, bagi aku dan Fadhil, adalah sosok yang hangat dan penuh dengan keriangan. Ia bisa membuat kami berdua bersemangat ketika ia membicarakan sesuatu.
Selepas SMA, aku dan Fadhil tak pernah lagi bertemu dengannya. Supriadi menghilang entah kemana. Sama sekali ia tidak memberi kabar kepada kami berdua. Ia menghilang seperti halnya seorang Soeprijadi, pahlawan nasional, sekaligus pemimpin PETA, yang melakukan pemberontakan kepada Jepang, di Blitar.
Meski Supriadi sahabatku itu menghilang, tapi kami yakin, ia bukan menghilang karena diculik setelah melakukan pemberontakan kepada negara, atau terlalu vokal berkomentar atas suatu kebijakan. Karenanya, kami juga belum ingin mendaftarkannya ke komisi orang hilang. Lagipula, Supriadi sahabatku itu, juga hanya sebutannya saja, yang sama dengan Soeprijadi tokoh Nasional jaman perjuangan itu. Hanya sama nama.
Entah apa yang menyebabkan Supriadi, sahabatku itu, menghilang dan tidak coba menghubungi kami. Yang kami tahu, rumah orang tuanya, yang dulu juga ada di Kediri, saat itu sudah ditempati orang lain. Ketika kami bertanya kepada penghuni barunya, mereka bilang, tidak tahu keluarga Supriadi tinggal dimana.
Kami berdua sempat marah, karena Supriadi menghilang begitu saja tanpa memberi kabar. Namun belakangan, kemarahan kami berganti kerinduan. Kami berdua sangat merindukan Supriadi. Hingga sore itu pun, Fadhil dan aku, masih terus berusaha mencarinya. Meski kurasa, Fadhil memiliki semangat lebih dibanding diriku.
”Oke Fif !! Aku pergi dulu !! Nggak usah banyak berpikir macam-macam dulu malam ini. Yang pasti, komputermu benerin dulu. Dan ubah tuh, kebiasaanmu melek terlalu malam. Mumpung kamu ada dirumah seperti ini. Tapi nggak apa-apa kalau kamu melek malam untuk selesaikan artikel yang kuminta”, ucap Fadhil. Setelah itu ia tersenyum.
Aku juga tersenyum mendengar kata-katanya.
Fadhil lalu berpamitan kepada ibuku yang berada di ruang keluarga, sedang nonton TV. Aku mengantar Fadhil sampai ke teras rumah, sambil terus memegang kertas yang diberikan Fadhil padaku.
Selepas Fadhil pergi, aku tidak langsung masuk ke dalam rumah. Aku duduk diteras rumah memperhatikan beberapa lembar kertas itu. Lama aku duduk di teras rumahku dan terus memperhatikan kertas-kertas berisi tulisan Supriadi.
*****
Mega berwarna merah yang mengawali malam, telah lama berlalu. Langit sudah terlihat gelap. Hanya beberapa bintang yang mulai nampak di mataku. Bersaing dengan lampu-lampu yang terpasang di beberapa teras rumah, di kompleks perumahanku. Purnama belum menampakkan wajahnya saat itu.
Suasana hening yang kurasakan di sekitar rumahku, semakin mengingatkan aku kepada sebuah senyuman yang telah lama tidak lagi dapat kulihat.
Senyuman seorang teman, seorang karib, seorang sahabat sejati. Seorang sahabat yang tidak pernah lelah menyemangati. Sahabat yang tidak pernah lelah memperingati. Sahabat yang tidak pernah lelah mengajak berdiri untuk menempuh jalan lurus nan suci. Sahabat yang tidak pernah lelah menarik hati. Menuju cahaya yang menerangi. Seorang sahabat yang dengan tulus memberi tanpa pernah mengingat-ingat kembali. Seorang karib yang tak pernah mengeluh meski banyak hal yang mungkin perlu untuk dikeluhkan. Seorang teman yang senantiasa terus memperingatkan ketika kami hendak tergelincir penatnya jalan kehidupan. Seorang Supriadi.
Wajar, Fadhil tak kuasa untuk tidak mengingatnya.
Tanggal 7 Juli, adalah tanggal dimana kami terakhir kali bertemu dan berbincang-bincang dengan Supriadi. Perbincangan kami yang terakhir itu, terjadi beberapa waktu menjelang kelulusan kami dari bangku SMA. Dan saat itulah, Supriadi menyerahkan tulisan-tulisannya, kepada kami berdua.
Tulisan yang diberikan Supriadi sebelum ia menghilang, adalah tulisan yang sama, dengan yang diberikan Fadhil kepadaku malam minggu itu. Meski aku juga masih terus menyimpan tulisan Supriadi yang diberikannya kepadaku, setiap tanggal 7 Juli, semenjak Supriadi menghilang, Fadhil selalu saja memberikan kepadaku, salinan tulisan Supriadi. Dan lagi-lagi, aku tidak merasa enggan untuk membacanya kembali.
Di bawah terpaan sinar lampu yang terpasang di plafon teras rumahku, malam itu, aku mulai membaca lagi tulisan Supriadi......
*****
Assalamu’alaikum Warahmatullaahi Wabarokaatuh.

Sederhana saja. Tak pernah mewakili apapun dan siapapun, kecuali mungkin, hanya angan-angan, yang dengan kejernihan nurani seharusnya kujauhi.
Rasa takut dalam diri yang membuat banyak kata-kata tertulis disini. Seperti rasa takut ketika bertemu hantu gentayangan di alam mimpi, yang tak pernah bisa dihitung oleh rumus pythagoras ataupun Emc2-nya Einstein.
Rasa cemas semakin menjadi hingga tangan tak mau berhenti, untuk tidak terus-menerus menekan keyboard, yang seharusnya istirahat, karena memang sudah sangat kelelahan melayani.
Mungkin kecemasan yang ini, seperti kecemasan yang dialami sang pagi ketika matahari masih terus bersembunyi. Oh... sepertinya tidak. Mungkin berlebihan jika kukatakan matahari terus bersembunyi. Karena matahari akan terus muncul di pagi hari, terus memberi sampai saat ia diperintahkan untuk berhenti di akhir kehidupan nanti.
Aku hanya tidak tahu harus mulai dari mana. Kata-kata apa yang harus mengawali semuanya. Sedemikian rumit bagiku. Sedangkan daya nalarku jauh dari paham.
Kebingungan ini sama seperti ketika aku terbuang ke dalam hutan yang sangat lebat hingga tak nampak bagiku yang mana selatan yang mana utara.
Seperti ketika aku berada di dalam sebuah gua yang gelap gulita dan tak seorangpun membawakanku lentera. Bagaikan berdiri di pinggir pantai yang sunyi, tanpa gemuruh ombak yang kutemui.
Aku tak pernah bertanya dan enggan untuk sekedar bercerita. Meski aku masih ingat pepatah lama ”Malu bertanya sesat dijalan”, dan juga memahami makna ”Berbagi akan melapangkan hati”. Tapi bagaimana kalimat keluar dari bahasaku jika aku tahu hanya ada ’satu jalan’ untukku? Apa yang akan aku tanyakan? Apa yang akan aku ceritakan?
Yang ada padaku hanya seberkas sinar disudut mata. Sinar rembulan yang malu-malu untuk mencapai purnamanya. Katakanlah : Bulan Separuh Purnama. Meski telah kupaksakan melihatnya sebagai purnama, tapi tetap saja mata ini tidak mau tertipu.
Aku tahu, masalahnya bukanlah karena bulan yang hanya separuh purnama. Tapi masalahnya aku tidak tahu harus berbuat apa dengan cahayanya.
Aku mengagumi, aku terperdaya, aku terpesona, tapi mulutku tak pernah mau bicara. Hanya diam dan tak mampu berkata.
Aku merindu, aku selalu mengharap bertemu, aku menangis pilu, tapi aku terus malu untuk berjalan maju. Sekedar untuk menatap dan meminta, ”Temani aku !”
Ada yang berbisik, ”Apa salahnya jika engkau meminta? Toh tidak pernah ada satupun undang-undang manusia yang melarangnya?”
Aku berkata, ”Hanya saja rasa kecewa mungkin yang menantiku disana.”
Ya, mungkin.... itulah yang kumaksud. Rasa kecewa. Itulah yang ingin kukatakan. Akhirnya aku menemukannya juga.
Itulah ketakutanku, kecemasanku, kebingunganku. Rasa kecewa yang siap mencabikku jika nanti permintaanku, keinginanku, tertolak diakhir cerita.
Itulah yang selama ini membuatku membisu. Lalu aku mulai menikmati kenyamanan dalam kesunyian itu. Meski sesungguhnya aku pun tahu, tak perlu aku merasa kecewa. Karena, jika pun bulan tetap separuh purnama, itu adalah kehendak-Nya. Dan yang kuyakini, bulan pasti akan purnama. Dimanapun dan kepada siapapun ia menampakkan keindahannya, ia akan tetap purnama.
Aku sadar bulan hanya satu di bumiku. Jika dia meninggalkanku, maka tak kan pernah ada cahaya dimalamku. Bila aku memaksanya untuk purnama, kemana kucari bulan itu, ketika dia marah dan melangkah untuk pergi?
Bukankah lebih baik kubiarkan dia hanya separuh saja purnama? Bukankah dengan begitu aku tetap bisa melihatnya ? Tetap bisa mengaguminya?
Dalam diamku, aku bisa menatapnya. Mencoba mengerti makna yang terpancar dari cahayanya. Meski hanya dari sudut mata.
Biarlah bulan yang separuh purnama, menjadi sempurna dengan sendirinya. Mengiringi do’a yang kupanjatkan selalu hanya kepada-Nya.
Oh... itukah akhirnya?
Itukah maknanya? Itukah yang ingin kukatakan diawal perjumpaanku dengan asa? Apakah aku harus menunggu untuk bisa memberi dan tak pernah mau meminta?
Ya bisa saja !
Bagiku, memberi lebih tinggi dari meminta. Memberi dengan sepenuh hati akan menenangkan jiwa. Sedang jika aku meminta pada dunia, kecewa akan membayangi kehidupan ini ketika tidak mendapatkannya. Aku hanya akan meminta kepada-Nya.
Aku takut rasa benci akan menghampiri saat kecewa melanda hati. Hingga sakitnya membuat semua terasa hampa. Mati rasa. Kemudian aku tak pernah lagi mengenal kata-kata mulia. Bahagia.
Lalu apa yang kuinginkan? Masih rumit untuk kulisankan, tapi aku bisa menuliskan.
Aku ingin... Bersama kekasih tercinta. Bersama sahabat sejati yang selalu setia. Bersama keluarga dan kerabat lainnya. Bersama-sama melakukan sesuatu yang membuat indah dunia. Bersama-sama menempuh jalan lurus yang menuju cahaya, melaksanakan perintah-perintah Allah, dan bersama-sama berusaha menjauhi larangan Allah.
”Wahai Dzat Penguasa Alam Raya. Aku rela berjalan mengiringi Bulan Separuh Purnama. Aku tahu semua adalah kehendak-Mu Yang Maha Perkasa. Engkau yang mengirimku ke dunia. Memberiku makna semua benda. Membimbingku dalam naungan cahaya-Mu. Hanya kepada-Mu segala puji yang berupa kata dan yang tersembunyi dalam relung jiwa.
Wahai Dzat Yang Mengetahui segala isi hati. Hanya kepada-Mu semua akan kembali. Hanya Engkau yang sanggup melindungi. Dari angan-angan dan keinginan yang tak pernah mau berhenti. Hanya Engkau yang menguasai segala sesuatu di alam raya ini. Engkau Yang sanggup membolak-balikan hati. Ikhlas adalah karunia-Mu. Benci adalah murka-Mu.
Do’aku takkan terkabulkan tanpa kehendak-Mu dan tanpa karunia-Mu. Engkau yang sanggup merubah bulan tak lagi separuh purnama. Pertemukan aku dengan cahaya purnama semesta. Yang mendampingiku mengarungi dunia. Menjadikan agamaku sempurna dengan warna. Sebelum panggilan-Mu menarik jiwa. Dari raga.
Ya Allah, berilah aku cahaya di dalam hatiku, berilah aku cahaya dalam pendengaranku, dan berilah aku cahaya dalam penglihatanku, berilah aku cahaya dalam rambutku, berilah aku cahaya di sebelah kanan dan kiriku, di depanku dan di belakangku. Sesungguhnya Engkaulah Cahaya dari segala cahaya, Berilah aku kebahagiaan dunia dan akherat.
Ya Allah... Engkaulah satu-satunya tuhan yang berhak disembah. Engkaulah Yang Maha Pengampun. Aku telah menganiaya diriku sendiri.... Ampunilah diriku atas dosa-dosaku selama ini... Engkaulah Yang Mengetahui segala isi hati.... Ampunilah kami setelah berakhirnya semua ini....”
*****
Aku berhenti membaca tulisan dalam lembaran-lembaran yang kupegang. Masih ada beberapa lembar lagi, namun aku ingin berhenti membacanya.
Beberapa menit aku masih diam termenung setelah membaca sebagian tulisan Supriadi yang diberikan Fadhil. Semangat seorang Supriadi masih bisa kurasakan setelah membaca kembali tulisannya. Dan tanpa kusadari, malam itu, keinginanku untuk kembali bertemu sahabatku itu, semakin besar.
Aku lalu bertanya dalam hati, ”Benarkah ia di Malang seperti informasi yang diperoleh Fadhil dari beberapa teman?” Semoga saja Fadhil bisa mendapat informasi yang lebih valid dan akurat. Bila informasi yang diperoleh Fadhil memang terbukti benar, pasti aku, dengan senang hati, akan pergi bersama Fadhil, untuk mencari Supriadi di Malang.
Rinduku benar-benar mulai menebal. Rindu kepada seorang sahabat yang selalu mampu membuat diri ini tersenyum, dan terus bersemangat.
*****
Setelah lama berdiam di teras rumah, aku berdiri, lalu melangkah masuk kedalam rumah. Aku belum melanjutkan membaca seluruh isi tulisan sahabatku. Lain kali aku akan melanjutkannya.
Aku melintas di ruang tamu. Kulihat saat itu, ibu masih juga menonton TV di ruang keluarga yang ada di sebelah ruang tamu. Aku langsung saja menuju kekamarku. Menyimpan tulisan Supriadi, lalu melanjutkan kembali aktifitasku yang belum sempat selesai. Aku kembali berusaha memperbaiki komputerku, dengan tujuanku semula, untuk mendengarkan beberapa lagu.
Jam setengah sembilan komputerku sudah normal. Tapi, setelah komputerku selesai kuperbaiki, justru aku tak bisa berkonsentrasi untuk sekedar mendengarkan lagu, atau menyelesaikan artikel yang diminta Fadhil. Aku terus teringat senyuman sahabatku, Supriadi. Kapan aku bisa bertemu dengannya lagi? Entahlah....
Malam itu, untuk mengurangi perasaan aneh yang tiba-tiba hadir dalam diriku, aku putuskan untuk pergi menemui Fatimah. Biasanya, setelah ngobrol kesana kemari dengan Fatimah, adikku yang murah senyum itu, hatiku ini menjadi sedikit lega.
Aku segera mengambil tasku. Tas itu berisi beberapa alat tulis dan juga beberapa buku kecil. Buku-buku kecil yang ada di dalam tasku itu, adalah tulisan-tulisanku sendiri. Kutulis untuk diriku sendiri, meskipun seringkali, Fatimah dan beberapa sahabatku seperti Fadhil juga ikut membacanya.
Aku lalu bergegas menemui Fatimah. Tapi kurasa, aku tidak begitu mujur. Ternyata, Fatimah sudah tidur. Akhirnya, aku kembali kekamarku. Lalu, kupaksakan untuk memejamkan mataku. Ada baiknya aku tidur lebih cepat dari kebiasaanku sebelumnya. Lagipula, masih banyak hal yang akan kulakukan keesokan harinya. Apalagi bila Fadhil datang dengan membawa berita mengenai keberadaan sahabatku, Supriadi.
Aku coba membaringkan tubuhku di tempat tidur. Namun, meski mataku sudah kupejamkan, pikiranku belum juga mau istirahat. Aku pun, tiba-tiba terus mengingat kata-kata yang dituliskan sahabatku, Supriadi.
Aku terus mengingat kata-kata, ”Aku ingin.... Bersama kekasih tercinta. Bersama sahabat sejati yang selalu setia. Bersama keluarga dan kerabat lainnya. Bersama-sama melakukan sesuatu yang membuat indah dunia. Bersama-sama menempuh jalan lurus yang menuju cahaya, melaksanakan perintah-perintah Allah, dan bersama-sama berusaha menjauhi larangan Allah.”
Aku terus mengingat kata-kata itu hingga aku benar-benar mulai merasa mengantuk. Dan malam itu, sebelum benar-benar tertidur, aku juga terus bertanya dalam hati, ”Engkau berada dimana? Dimanakah dirimu sahabatku?”
Pertanyaan itu terngiang-ngiang dalam benakku, beriringan dengan lagu Iwan Fals, ’Belum Ada Judul’ , yang terdengar jelas dari active spiker di kamarku.
*****

0 komentar:

Posting Komentar

  :::  K O L E K S I     F O T O  :::
     
   
 
Dimar Reva Dila ®
 
  :::   Tengah    :::
     
 
 
 
Dimar Reva Dila ®