Sabtu
sore itu, selepas isya, Fadhil bertamu kerumahku. Setelah terdengar menyapa ibu
yang sedang nonton TV di ruang keluarga, ia langsung masuk ke kamarku.
”Serius
banget, Fif? Sedang apa kamu?”, tanya Fadhil saat ia menaruh tasnya di tempat
tidurku.
”Ada
yang nggak beres dengan komputerku”, jawabku sambil terus memperhatikan komputerku. Komputer, yang sehari-hari,
sebenarnya berada di kamar kostku, di Jogja. Komputer itu, siang hari
sebelumnya, kuboyong ke Kediri.
Sore
itu, aku sudah menghubungkan kabel dari active spiker ke komputerku.
Bermaksud mendengarkan beberapa lagu. Namun, tiba-tiba ada beberapa gangguan di
shoftware komputerku. Aku harus
memperbaikinya terlebih dulu agar bisa memenuhi keinginanku.
”Apanya
yang nggak beres”, tanya Fadhil lagi.
”Ada
beberapa program yang rusak. Ini lagi kuperbaiki.”
”Coba
aku lihat !!”
Fadhil
menaruh tasnya di kasurku, mendekat dan ikut memperhatikan komputerku. Aku
mulai memandangi sahabatku. Lalu, tiba-tiba, tanpa bertanya-tanya dulu, Fadhil
memencet tombol power agak lama.
”Heehhh
!! Kamu apain, Dhil !? Jangan ngaco kamu !! Aku harus mengulang lagi kalau
begitu yang kamu lakukan !!”, teriakku kaget setelah menyadari yang dilakukan
Fadhil. Aku langsung memperhatikan monitor dihadapanku. Dan jelas saja, tanpa
hambatan apapun, monitor itu langsung mati.
”Dasar
nggak tahu diri...”, gerutuku dalam hati.
Aku
memandangi Fadhil dengan perasaan ’3G’. Geram, gusar dan gemes. Ia selalu
begitu. Melakukan sesuatu menurut apa yang ia pikirkan. Tidak mau bertanya dan
tidak melihat situasi lebih dulu. Dan akibatnya, bila semua yang ia lakukan
berkaitan denganku, seringkali aku justru harus mengulang hampir semua hal yang
kulakukan, seperti saat aku memperbaiki komputerku, sore itu.
Aku
kembali memperhatikan komputerku dengan perasaan putus asa. Rasanya, aku ingin
berteriak-teriak. Tinggal sedikit saja, software yang kuperbaiki sudah
akan kelar. Tapi karena ulah Fadhil yang ceroboh itu, aku harus mengulang dari
awal. Semuanya.
Aku
masih terus diam. Dan Fadhil, malah cengar-cengir tanpa perasaan bersalah, yang
seharusnya ia tampakkan.
Aku
sudah sedikit jengkel dengan tingkahnya. Beruntung, tidak lama kemudian
Najmuddin, adikku yang bungsu, dan Rony, teman sekelas disekolahnya yang
juga tetanggaku, menghampiri aku dan Fadhil. Mereka bergabung di kamarku.
Menyapa kami dan mulai berbincang-bincang dengan Fadhil.
Akhirnya,
aku minta ijin untuk mengurus komputerku sebentar. Sementara aku memperbaiki
komputerku, kubiarkan Fadhil berbicara dengan Najmuddin dan Rony. Mereka
bertiga terlihat mulai asyik mengobrol kesana-kemari di dalam kamarku.
Kamarku,
salah satu ruang yang ada di rumah orang tuaku itu, sebenarnya tidak begitu
besar. Tetapi akan terasa nyaman, untuk sekedar digunakan mengobrol bersama
teman-temanku seperti sore itu. Di kamarku, seperti kamar-kamar lain pada
umumnya, ada satu tempat tidur yang terletak di bagian tepi ruangan.
Disampingnya, tepat menghadap ke jendela, ada satu meja belajar, yang sementara
kumanfaatkan untuk menaruh komputerku. Di sebelah meja belajar, ada satu rak
berdiri kokoh. Rak yang multifungsi. Bagian bawah dan samping rak itu, bisa
berfungsi sebagai lemari pakaian, sedang bagian atasnya bisa aku gunakan untuk
menaruh beberapa buku dan juga beberapa perlengkapan lain.
Semua
peralatan yang ada di kamarku, sudah kuatur sedemikian rupa dengan tujuan, bila
aku dan teman-teman sedang bercakap-cakap di kamar seperti sore itu, kamarku
tidak terasa sempit.
Di dua
sudut ruangan kamarku yang menghadap ke pintu, terpampang dua buah active
spiker. Dari kedua active spiker itulah seringkali kudengarkan suara lagu.
Karena aku suka mendengar beberapa lagu saat berada di kamar itu, bapakku
sengaja mendesain kamarku, sebagai ruangan kedap suara. Kata beliau, agar suara
lagu tidak terlalu keras terdengar dari luar ruangan. Maklum, kamarku
berdekatan dengan kamar beliau. Selain itu, kamarku juga terletak, di bagian
pojok depan rumah orang tuaku, dan langsung menghadap ruang tamu.
Kamarku,
yang juga memuat beberapa peralatan yang selalu setia menemaniku semenjak aku
duduk di bangku SMA itu, sudah mulai jarang kugunakan. Aku, saat itu, lebih
banyak menghabiskan waktu di kamar kost-ku di Kota Jogja. Aku harus kost,
karena saat itu, aku sedang menempuh kuliah di Fakultas Ekonomi, Universitas
Gadjah Mada. Salah satu universitas yang telah berhasil mencetak beberapa tokoh
Nasional. Dan aku, sangat bersyukur bisa merasakan kuliah disana, meskipun aku
merasa tidak termasuk dalam jajaran tokoh-tokoh yang di cetak universitasku
itu. Bagaimanapun, masih banyak orang yang belum bisa merasakan bangku kuliah,
bahkan hingga saat ini.
*****
Aku
masih berkutat dengan komputerku.
Sedangkan
Fadhil, Najmudin dan Rony masih berbincang-bincang diatas karpet yang ada di
lantai kamarku, dengan sangat gembira dan penuh suka cita.
Sambil
memperbaiki komputerku, sesekali aku coba memperhatikan perbincangan mereka. Asyik benar mereka bertiga dalam perbincangan itu.
Saat
para pemuda, pada malam minggu seperti sore itu, mungkin sibuk dengan para
kekasihnya, justru dengan semangat aneh yang menggebu-gebu, Fadhil berbicara
tentang cita-citanya. Fadhil
terlihat sangat optimis ketika berbicara kepada Najmuddin dan Rony. Dan kukira,
Fadhil berbicara dengan sedikit memprovokasi. Ia berbicara
tentang tujuan hidupnya. Berbicara tentang bagaimana cara ia meraihnya.
Berbicara tentang apa yang telah dan akan di lakukannya, untuk mewujudkan
cita-citanya.
Perbincangan
mereka sore itu, menurutku, juga suatu perbincangan yang hangat, meski Fadhil
terkesan lebih banyak mendominasi. Wajarlah bila Fadhil mendominasi. Fadhil
jauh lebih tua dari Najmuddin dan Rony. Baik dari segi ilmu dan dari segi umur.
Biasanya, dalam sebuah perbincangan seperti itu, yang lebih tua pasti dianggap
lebih banyak pengalaman, hingga akhirnya ia mendominasi perbincangan.
Namun
demikian, meski kadang kuanggap wajar, kurasa tidak sepenuhnya benar bila dalam
perbincangan seperti itu, yang lebih tua seperti Fadhil haruslah yang lebih
mendominasi pembicaraan. Nyatanya kini, ada iklan, ’Belum Tua Belum Boleh
Bicara’. Lalu diikuti, ’Tanya Kenapa?’. Mungkin suatu saat akan ada penyair
yang coba menuliskan sesuatu untuk menerangkan iklan itu, ’Kenapa Tidak
Bertanya? Apa Karena Dilarang Bicara?’.
Sore
itu, tentu belum ada iklan seperti itu. Dan entah hanya sebuah kebetulan, atau
memang disengaja, sebelum aku sempat berkomentar atas perbincangan mereka
bertiga sore itu, kudengar dengan jelas, setelah Fadhil berbicara panjang
lebar, Najmuddin yang usianya lebih muda, juga lantas bertanya kepada Fadhil,
“Lalu kesimpulannya apa, mas Fadhil? Keinginan mas Fadhil, seperti apa?”
Setelah
itu, Rony dengan antusias juga ikut bertanya, ”Lalu, apa yang harus kita
lakukan? Dan, apa yang ingin mas lakukan?”
Saat
Najmuddin dan Rony bertanya kepadanya, Fadhil terdiam sebentar. Ia tampak
mengingat-ingat sesuatu.
Dan tak
kusangka, saat itu, Fadhil kemudian menjawab dengan kata-kata, yang kurasa
benar-benar mengusik gendang telingaku. Juga hatiku.
”Aku
ingin....”, ucap Fadhil dengan nada
optimis, ”Bersama kekasih tercinta. Bersama sahabat sejati yang selalu setia.
Bersama keluarga dan kerabat lainnya. Bersama-sama melakukan sesuatu yang
membuat indah dunia. Bersama-sama menempuh jalan lurus yang menuju cahaya,
melaksanakan perintah-perintah Allah, dan bersama-sama berusaha menjauhi
larangan Allah.”
Karena
Fadhil menjawab dengan kata-kata itu, langsung saja kuhentikan aktifitasku
dengan komputer. Meskipun komputerku belum selesai kuperbaiki, aku bergabung
dengan mereka bertiga.
Aku
duduk disamping Fadhil. Kupandangi wajah Fadhil yang mulai menyunggingkan
sebuah senyuman. Setelah itu, ganti kupandangi Najmuddin dan Rony. Wajah
Najmuddin dan Rony, mulai berseri-seri. Mata mereka berbinar-binar. Mereka
berdua terus mengangguk-angguk.
Kata-kata
Fadhil sore itu, terlihat mampu membangkitkan semangat Najmuddin dan Rony yang
sejak semula setia mendengarkannya. Sedangkan bagiku, kata-kata itu
membangkitkan sesuatu yang lain. Aku masih ingat betul, kata-kata yang
diucapkan Fadhil itu, adalah kata-kata yang di hafalnya dari sebuah tulisan. Tulisan seorang sahabat kami, waktu masih di SMA dulu.
Aku
masih terus memandangi Fadhil, Najmuddin dan Rony. Terlihat semangat mereka bertiga, semakin bergelora.
Mereka pun melanjutkan
perbincangan, masih dengan penuh kesuka-citaan dan keramahan khas anak muda.
Rony dan Najmuddin, yang saat itu duduk di kelas Satu SMA, juga mulai banyak
bertanya kepada Fadhil.
Meski aku memang bergabung dengan mereka bertiga,
sore itu, dengan sengaja aku hanya berdiam diri. Aku hanya terus mengikuti
perbincangan mereka. Memperhatikan apa-apa yang mereka bicarakan.
Di
pojok dunia, para peneliti percaya bahwa, tidak adanya pelepasan hormon stres
dengan tertawa, tidak adanya pemenuhan kebutuhan oksigen yang meningkat karena
sel-sel otot jantung yang bergerak cepat, dan bertambahnya kekentalan
keping-keping darah, yang kemudian memicu pembekuan darah, bisa menjelaskan
bagaimana kemarahan meningkatkan peluang terjadinya serangan jantung. Ketika
marah, orang juga jarang yang bisa tertawa karena hormon stres meningkat, detak
jantung mengalami percepatan melebihi batas wajar, lalu pemenuhan oksigen
terhambat. Itu semua menyebabkan naiknya tekanan darah pada pembuluh nadi, dan
oleh karenanya, memperbesar kemungkinan seseorang terkena serangan jantung.
Saat
para ahli percaya yang demikian, di pojok rumah orang tuaku yang sederhana,
Fadhil, Najmuddin dan Rony, percaya bahwa kemarahan justru akan meningkatkan
suatu motivasi yang sangat besar dalam diri seseorang. Orang yang merasa letih,
lesu, dan selalu loyo, jadi bersemangat karena kemarahan yang ada dalam
dirinya, membakar hati dan pikirannya.
Menurut
mereka bertiga, kemarahan mungkin akan sangat bermanfaat ketika seseorang mampu
mengarahkannya. Akan memberikan sebuah hasil berupa tindakan yang lebih
efisian, tepat sasaran, dan berpengaruh besar dalam rangka mengatasi suatu
permasalahan. Paling tidak, seperti itulah yang kutangkap dari gelora semangat
yang ada pada mereka, saat mereka bertiga berbincang-bincang.
*****
Jam delapan, perbincangan itu berakhir.
Najmuddin dan Rony minta ijin menghentikan
perbincangan hangat itu. Mereka berdua, kemudian meninggalkan kamarku. Mereka
berdua pergi menuju kamar Najmuddin. Katanya, akan mengerjakan sesuatu di kamar
Najmuddin.
Setelah Najmuddin dan Rony pergi, Fadhil terlihat
memperhatikan jam dinding di kamarku. Setelah itu, ia menatapku. Hanya
sebentar. Ia kemudian bertanya apakah komputerku sudah baik. Kujawab belum,
sambil kembali sedikit menggerutu.
Fadhil masih terus menatapku. Lalu ia menarik nafas
dalam-dalam. Terlihat sedikit sedih. Tetapi, dengan cepat, ia kembali tampak
bersemangat.
”Fif, aku pergi dulu kali ini. Besok saja kita
bertemu lagi. Sebenarnya
aku ingin bicara banyak. Tapi lebih baik kamu perbaiki dulu komputermu”, kata
Fadhil sambil berdiri dan mengambil tas yang sebelumnya ia taruh di kasurku.
”Kamu mau kemana?”, tanyaku.
Fadhil tidak memperhatikan pertanyaanku. Ia sibuk
dengan isi tasnya. Setelah itu, Fadhil menyerahkan beberapa lembar tulisan
kepadaku.
Saat memberikan kertas-kertas itu, dengan
bersemangat, Fadhil mengatakan kepadaku, ”Fif, baca lagi tulisan ini ya! Kuharap kamu tidak
bosan membacanya. Dan semoga, komputermu beres malam ini. Seperti janji kita
waktu di Jogja, besok aku akan kesini, mengambil artikel yang kemaren sempat
kuminta. Ingat, kamu sudah berjanji kepadaku, artikel yang kuminta itu akan
kamu selesaikan besok pagi.”
Fadhil berhenti sebentar, lalu melanjutkan
kata-katanya, ”Besok siang, kalau informasi yang kemarin kuterima benar, kita
insyaAllah akan pergi mencarinya. Tadi, sebelum kesini, aku baru dapat
informasi lagi, dari beberapa teman yang lain. Mereka, juga pernah melihatnya
berada di Malang. Aku pastikan dulu informasi yang kuterima. Kalau benar
seperti itu, besok kita bicarakan. Mungkin besok, kita harus pergi ke Malang.
Siapa tahu bisa ketemu dengannya.”
Aku hanya mengangguk, belum menanggapi kata-kata
sahabatku itu. Kuperhatikan sebentar tulisan yang ada di kertas itu.
Oh... !! Ternyata tulisan itu adalah salah satu
tulisan Supriadi, teman satu SMA kami dulu. Dalam tulisan itulah tercantum
kata-kata yang sebelumnya sempat mengusik telingaku, ketika diucapkan Fadhil,
kepada Rony dan Najmuddin.
Aku menghela nafas.
Aku mengerti, sore itu, ternyata Fadhil sedang
membicarakan Supriadi, seorang sahabatku yang sampai saat itu masih kami cari
keberadaannya.
Supriadi adalah sahabat dekat kami. Aku, Fadhil dan
Supriadi, dulu seringkali menghabiskan waktu bersama-sama. Kami bertiga
sama-sama menjadi pengurus OSIS ketika masih duduk dibangku SMA. Supriadi, bagi
aku dan Fadhil, adalah sosok yang hangat dan penuh dengan keriangan. Ia bisa
membuat kami berdua bersemangat ketika ia membicarakan sesuatu.
Selepas SMA, aku dan Fadhil tak pernah lagi bertemu
dengannya. Supriadi menghilang entah kemana. Sama sekali ia tidak memberi kabar
kepada kami berdua. Ia menghilang seperti halnya seorang Soeprijadi, pahlawan
nasional, sekaligus pemimpin PETA, yang melakukan pemberontakan kepada Jepang,
di Blitar.
Meski Supriadi sahabatku itu menghilang, tapi kami
yakin, ia bukan menghilang karena diculik setelah melakukan pemberontakan
kepada negara, atau terlalu vokal berkomentar atas suatu kebijakan. Karenanya,
kami juga belum ingin mendaftarkannya ke komisi orang hilang. Lagipula,
Supriadi sahabatku itu, juga hanya sebutannya saja, yang sama dengan Soeprijadi
tokoh Nasional jaman perjuangan itu. Hanya sama nama.
Entah apa yang menyebabkan Supriadi, sahabatku itu,
menghilang dan tidak coba menghubungi kami. Yang kami tahu, rumah orang tuanya,
yang dulu juga ada di Kediri, saat itu sudah ditempati orang lain. Ketika kami
bertanya kepada penghuni barunya, mereka bilang, tidak tahu keluarga Supriadi
tinggal dimana.
Kami berdua sempat marah, karena Supriadi
menghilang begitu saja tanpa memberi kabar. Namun belakangan, kemarahan kami
berganti kerinduan. Kami berdua sangat merindukan Supriadi. Hingga sore itu
pun, Fadhil dan aku, masih terus berusaha mencarinya. Meski kurasa, Fadhil
memiliki semangat lebih dibanding diriku.
”Oke Fif !! Aku pergi dulu !! Nggak usah banyak
berpikir macam-macam dulu malam ini. Yang pasti, komputermu benerin dulu. Dan
ubah tuh, kebiasaanmu melek terlalu malam. Mumpung kamu ada dirumah seperti
ini. Tapi nggak apa-apa kalau kamu melek malam untuk selesaikan artikel yang
kuminta”, ucap Fadhil. Setelah itu ia tersenyum.
Aku juga tersenyum mendengar kata-katanya.
Fadhil lalu berpamitan kepada ibuku yang berada di
ruang keluarga, sedang nonton TV. Aku mengantar Fadhil sampai ke teras rumah,
sambil terus memegang kertas yang diberikan Fadhil padaku.
Selepas Fadhil pergi, aku tidak langsung masuk ke
dalam rumah. Aku duduk diteras rumah memperhatikan beberapa lembar kertas itu. Lama aku duduk di
teras rumahku dan terus memperhatikan kertas-kertas berisi tulisan Supriadi.
*****
Mega berwarna merah yang mengawali malam, telah
lama berlalu. Langit sudah terlihat gelap. Hanya beberapa bintang yang mulai
nampak di mataku. Bersaing dengan lampu-lampu yang terpasang di beberapa teras
rumah, di kompleks perumahanku. Purnama belum menampakkan wajahnya saat itu.
Suasana hening yang kurasakan di sekitar rumahku,
semakin mengingatkan aku kepada sebuah senyuman yang telah lama tidak lagi
dapat kulihat.
Senyuman seorang teman, seorang karib, seorang
sahabat sejati. Seorang sahabat yang tidak pernah lelah menyemangati. Sahabat
yang tidak pernah lelah memperingati. Sahabat yang tidak pernah lelah mengajak
berdiri untuk menempuh jalan lurus nan suci. Sahabat yang tidak pernah lelah
menarik hati. Menuju cahaya yang menerangi. Seorang sahabat yang dengan tulus
memberi tanpa pernah mengingat-ingat kembali. Seorang karib yang tak pernah
mengeluh meski banyak hal yang mungkin perlu untuk dikeluhkan. Seorang teman
yang senantiasa terus memperingatkan ketika kami hendak tergelincir penatnya
jalan kehidupan. Seorang Supriadi.
Wajar, Fadhil tak kuasa untuk tidak mengingatnya.
Tanggal 7 Juli, adalah tanggal dimana kami terakhir
kali bertemu dan berbincang-bincang dengan Supriadi. Perbincangan kami yang
terakhir itu, terjadi beberapa waktu menjelang kelulusan kami dari bangku SMA.
Dan saat itulah, Supriadi menyerahkan tulisan-tulisannya, kepada kami berdua.
Tulisan yang diberikan Supriadi sebelum ia
menghilang, adalah tulisan yang sama, dengan yang diberikan Fadhil kepadaku
malam minggu itu. Meski aku juga masih terus menyimpan tulisan Supriadi yang
diberikannya kepadaku, setiap tanggal 7 Juli, semenjak Supriadi menghilang,
Fadhil selalu saja memberikan kepadaku, salinan tulisan Supriadi. Dan
lagi-lagi, aku tidak merasa enggan untuk membacanya kembali.
Di bawah terpaan sinar lampu yang terpasang di
plafon teras rumahku, malam itu, aku mulai membaca lagi tulisan Supriadi......
*****
Assalamu’alaikum
Warahmatullaahi Wabarokaatuh.
Sederhana saja. Tak pernah mewakili apapun dan siapapun, kecuali mungkin,
hanya angan-angan, yang dengan kejernihan nurani seharusnya kujauhi.
Rasa takut dalam diri
yang membuat banyak kata-kata tertulis disini. Seperti rasa takut ketika
bertemu hantu gentayangan di alam mimpi, yang tak pernah bisa dihitung oleh
rumus pythagoras ataupun Emc2-nya Einstein.
Rasa cemas semakin
menjadi hingga tangan tak mau berhenti, untuk tidak terus-menerus menekan
keyboard, yang seharusnya istirahat, karena memang sudah sangat kelelahan
melayani.
Mungkin kecemasan yang
ini, seperti kecemasan yang dialami sang pagi ketika matahari masih terus
bersembunyi. Oh... sepertinya tidak. Mungkin berlebihan jika kukatakan matahari
terus bersembunyi. Karena matahari akan terus muncul di pagi hari, terus
memberi sampai saat ia diperintahkan untuk berhenti di akhir kehidupan nanti.
Aku hanya tidak tahu
harus mulai dari mana. Kata-kata apa yang harus mengawali semuanya. Sedemikian
rumit bagiku. Sedangkan daya nalarku jauh dari paham.
Kebingungan ini sama
seperti ketika aku terbuang ke dalam hutan yang sangat lebat hingga tak nampak
bagiku yang mana selatan yang mana utara.
Seperti ketika aku
berada di dalam sebuah gua yang gelap gulita dan tak seorangpun membawakanku
lentera. Bagaikan berdiri di pinggir pantai yang sunyi, tanpa gemuruh ombak
yang kutemui.
Aku tak pernah bertanya
dan enggan untuk sekedar bercerita. Meski aku masih ingat pepatah lama ”Malu
bertanya sesat dijalan”, dan juga memahami makna ”Berbagi akan melapangkan
hati”. Tapi bagaimana kalimat keluar dari bahasaku jika
aku tahu hanya ada ’satu jalan’ untukku? Apa yang akan aku tanyakan? Apa yang
akan aku ceritakan?
Yang ada padaku hanya
seberkas sinar disudut mata. Sinar rembulan yang malu-malu untuk mencapai
purnamanya. Katakanlah : Bulan Separuh Purnama. Meski telah kupaksakan
melihatnya sebagai purnama, tapi tetap saja mata ini tidak mau tertipu.
Aku tahu, masalahnya
bukanlah karena bulan yang hanya separuh purnama. Tapi masalahnya aku tidak
tahu harus berbuat apa dengan cahayanya.
Aku mengagumi, aku
terperdaya, aku terpesona, tapi mulutku tak pernah mau bicara. Hanya diam dan
tak mampu berkata.
Aku merindu, aku selalu
mengharap bertemu, aku menangis pilu, tapi aku terus malu untuk berjalan maju.
Sekedar untuk menatap dan meminta, ”Temani aku !”
Ada yang berbisik, ”Apa
salahnya jika engkau meminta? Toh
tidak pernah ada satupun undang-undang manusia yang melarangnya?”
Aku berkata, ”Hanya saja
rasa kecewa mungkin yang menantiku disana.”
Ya, mungkin.... itulah
yang kumaksud. Rasa kecewa. Itulah yang ingin
kukatakan. Akhirnya aku menemukannya juga.
Itulah ketakutanku,
kecemasanku, kebingunganku. Rasa kecewa yang siap mencabikku jika nanti
permintaanku, keinginanku, tertolak diakhir
cerita.
Itulah yang selama ini
membuatku membisu. Lalu aku mulai menikmati kenyamanan dalam kesunyian itu.
Meski sesungguhnya aku pun tahu, tak perlu aku merasa kecewa. Karena, jika pun
bulan tetap separuh purnama, itu adalah kehendak-Nya. Dan yang kuyakini, bulan
pasti akan purnama. Dimanapun dan kepada siapapun ia menampakkan keindahannya,
ia akan tetap purnama.
Aku sadar bulan hanya
satu di bumiku. Jika dia meninggalkanku, maka
tak kan pernah ada cahaya dimalamku. Bila aku memaksanya untuk purnama, kemana
kucari bulan itu, ketika dia marah dan melangkah untuk pergi?
Bukankah lebih baik
kubiarkan dia hanya separuh saja purnama? Bukankah dengan begitu aku tetap bisa
melihatnya ? Tetap bisa mengaguminya?
Dalam diamku, aku bisa
menatapnya. Mencoba mengerti makna yang terpancar dari cahayanya. Meski hanya
dari sudut mata.
Biarlah bulan yang
separuh purnama, menjadi sempurna dengan sendirinya. Mengiringi do’a yang
kupanjatkan selalu hanya kepada-Nya.
Oh... itukah akhirnya?
Itukah maknanya? Itukah
yang ingin kukatakan diawal perjumpaanku dengan asa? Apakah aku harus menunggu
untuk bisa memberi dan tak pernah mau meminta?
Ya bisa saja !
Bagiku, memberi lebih
tinggi dari meminta. Memberi dengan sepenuh hati
akan menenangkan jiwa. Sedang jika aku meminta pada dunia, kecewa akan
membayangi kehidupan ini ketika tidak mendapatkannya. Aku hanya akan meminta
kepada-Nya.
Aku takut rasa benci
akan menghampiri saat kecewa melanda hati. Hingga sakitnya membuat semua terasa
hampa. Mati rasa. Kemudian aku tak pernah lagi mengenal kata-kata mulia.
Bahagia.
Lalu apa yang
kuinginkan? Masih rumit untuk kulisankan, tapi aku bisa menuliskan.
Aku ingin... Bersama kekasih tercinta. Bersama sahabat sejati yang selalu
setia. Bersama keluarga dan kerabat lainnya. Bersama-sama melakukan sesuatu
yang membuat indah dunia. Bersama-sama menempuh jalan lurus yang menuju cahaya,
melaksanakan perintah-perintah Allah, dan bersama-sama berusaha menjauhi
larangan Allah.
”Wahai Dzat Penguasa
Alam Raya. Aku rela berjalan mengiringi Bulan Separuh Purnama. Aku tahu semua
adalah kehendak-Mu Yang Maha Perkasa. Engkau yang mengirimku ke dunia.
Memberiku makna semua benda. Membimbingku dalam naungan cahaya-Mu. Hanya
kepada-Mu segala puji yang berupa kata dan yang tersembunyi dalam relung jiwa.
Wahai Dzat Yang
Mengetahui segala isi hati. Hanya kepada-Mu semua akan kembali. Hanya Engkau
yang sanggup melindungi. Dari angan-angan dan keinginan yang tak pernah mau berhenti.
Hanya Engkau yang menguasai segala sesuatu di alam raya ini. Engkau Yang
sanggup membolak-balikan hati. Ikhlas adalah karunia-Mu. Benci adalah murka-Mu.
Do’aku takkan
terkabulkan tanpa kehendak-Mu dan tanpa karunia-Mu. Engkau yang sanggup merubah
bulan tak lagi separuh purnama. Pertemukan aku dengan cahaya purnama semesta.
Yang mendampingiku mengarungi dunia. Menjadikan agamaku sempurna dengan warna.
Sebelum panggilan-Mu menarik jiwa. Dari raga.
Ya
Allah, berilah aku cahaya di dalam hatiku, berilah aku cahaya dalam
pendengaranku, dan berilah aku cahaya dalam penglihatanku, berilah aku cahaya
dalam rambutku, berilah aku cahaya di sebelah kanan dan kiriku, di depanku dan
di belakangku. Sesungguhnya Engkaulah Cahaya dari segala cahaya, Berilah aku kebahagiaan
dunia dan akherat.
Ya
Allah... Engkaulah satu-satunya tuhan yang berhak disembah. Engkaulah Yang Maha
Pengampun. Aku telah menganiaya diriku sendiri.... Ampunilah diriku atas
dosa-dosaku selama ini... Engkaulah Yang Mengetahui segala isi hati.... Ampunilah
kami setelah berakhirnya semua ini....”
*****
Aku berhenti membaca tulisan dalam
lembaran-lembaran yang kupegang. Masih ada beberapa lembar lagi, namun aku
ingin berhenti membacanya.
Beberapa menit aku masih diam termenung setelah
membaca sebagian tulisan Supriadi yang diberikan Fadhil. Semangat seorang
Supriadi masih bisa kurasakan setelah membaca kembali tulisannya. Dan tanpa
kusadari, malam itu, keinginanku untuk kembali bertemu sahabatku itu, semakin
besar.
Aku lalu bertanya dalam hati, ”Benarkah ia di
Malang seperti informasi yang diperoleh Fadhil dari beberapa teman?” Semoga
saja Fadhil bisa mendapat informasi yang lebih valid dan akurat. Bila informasi
yang diperoleh Fadhil memang terbukti benar, pasti aku, dengan senang hati,
akan pergi bersama Fadhil, untuk mencari Supriadi di Malang.
Rinduku benar-benar mulai menebal. Rindu kepada
seorang sahabat yang selalu mampu membuat diri ini tersenyum, dan terus
bersemangat.
*****
Setelah lama berdiam di teras rumah, aku berdiri,
lalu melangkah masuk kedalam rumah. Aku belum melanjutkan membaca seluruh isi
tulisan sahabatku. Lain kali aku akan melanjutkannya.
Aku melintas di ruang tamu. Kulihat saat itu, ibu
masih juga menonton TV di ruang keluarga yang ada di sebelah ruang tamu. Aku
langsung saja menuju kekamarku. Menyimpan tulisan Supriadi, lalu melanjutkan
kembali aktifitasku yang belum sempat selesai. Aku kembali berusaha memperbaiki
komputerku, dengan tujuanku semula, untuk mendengarkan beberapa lagu.
Jam setengah sembilan komputerku sudah normal.
Tapi, setelah komputerku selesai kuperbaiki, justru aku tak bisa berkonsentrasi
untuk sekedar mendengarkan lagu, atau menyelesaikan artikel yang diminta
Fadhil. Aku terus teringat senyuman sahabatku, Supriadi. Kapan aku bisa bertemu
dengannya lagi? Entahlah....
Malam itu, untuk mengurangi perasaan aneh yang
tiba-tiba hadir dalam diriku, aku putuskan untuk pergi menemui Fatimah.
Biasanya, setelah ngobrol kesana kemari dengan Fatimah, adikku yang murah
senyum itu, hatiku ini menjadi sedikit lega.
Aku segera mengambil tasku. Tas itu berisi beberapa
alat tulis dan juga beberapa buku kecil. Buku-buku kecil yang ada di dalam
tasku itu, adalah tulisan-tulisanku sendiri. Kutulis untuk diriku sendiri,
meskipun seringkali, Fatimah dan beberapa sahabatku seperti Fadhil juga ikut
membacanya.
Aku lalu bergegas menemui Fatimah. Tapi kurasa, aku
tidak begitu mujur. Ternyata, Fatimah sudah tidur. Akhirnya, aku kembali
kekamarku. Lalu, kupaksakan untuk memejamkan mataku. Ada baiknya aku tidur
lebih cepat dari kebiasaanku sebelumnya. Lagipula, masih banyak hal yang akan
kulakukan keesokan harinya. Apalagi bila Fadhil datang dengan membawa berita
mengenai keberadaan sahabatku, Supriadi.
Aku coba membaringkan tubuhku di tempat tidur.
Namun, meski mataku sudah kupejamkan, pikiranku belum juga mau istirahat. Aku
pun, tiba-tiba terus mengingat kata-kata yang dituliskan sahabatku, Supriadi.
Aku
terus mengingat kata-kata, ”Aku ingin.... Bersama kekasih tercinta. Bersama
sahabat sejati yang selalu setia. Bersama keluarga dan kerabat lainnya.
Bersama-sama melakukan sesuatu yang membuat indah dunia. Bersama-sama menempuh
jalan lurus yang menuju cahaya, melaksanakan perintah-perintah Allah, dan
bersama-sama berusaha menjauhi larangan Allah.”
Aku
terus mengingat kata-kata itu hingga aku benar-benar mulai merasa mengantuk.
Dan malam itu, sebelum benar-benar tertidur, aku juga terus bertanya dalam
hati, ”Engkau berada dimana? Dimanakah dirimu sahabatku?”
Pertanyaan
itu terngiang-ngiang dalam benakku, beriringan dengan lagu Iwan Fals, ’Belum
Ada Judul’ , yang terdengar jelas dari active spiker di kamarku.
*****
*****
0 komentar:
Posting Komentar