SUARA MOTOR, TERDENGAR OLEHKU. Tepat di depan
rumahku, suara keras itu menghilang.
Dari suara knalpot-nya yang nge-rock abis,
alias amat sangat keras dan memekakkan telinga, aku tahu, pagi itu Fadhil yang
datang kerumahku.
Dan ternyata, benarlah ia yang datang. Setelah
terdengar menyapa dan berbicara beberapa menit dengan ibuku yang kebetulan
sedang ada di teras, Fadhil masuk kerumah. Tanpa canggung-canggung, ia langsung
menghampiri aku dikamarku.
Seperti itulah Fadhil sahabatku.
Fadhil sudah sangat biasa bila berada dirumahku.
Sama seperti aku ketika berkunjung kerumahnya. Karena aku dan Fadhil bersahabat
sudah cukup lama, ia sudah seperti keluarga sendiri ketika berada di rumahku.
Sebaliknya, aku juga dianggap seperti keluarga sendiri ketika berada di rumah
Fadhil. Bahkan suasana kekeluargaan seperti itu, bukan hanya aku dan Fadhil
saja yang merasakannya. Berawal dari persahabatan kami, akhirnya keluarga kami
pun saling mengenal. Lama kelamaan hubungan keluargaku dengan keluarga Fadhil,
bahkan sudah seperti dua keluarga yang memiliki ikatan darah. Meskipun tinggal
agak berjauhan di Kota Kediri, keluarga Fadhil seringkali berkunjung kerumahku,
begitu juga keluargaku, sering berkunjung ke rumah Fadhil.
”Gimana? Dah beres yang kupesan? Awas kalau
belum!!”, ucap Fadhil saat menaruh tas di rak buku yang ada dikamarku.
Fadhil mulai mengeluarkan beberapa lembar kertas.
Membolak-balikannya sebentar. Sebagian ia biarkan berserakan di sekitar tasnya,
di atas rak yang ada di kamarku. Sebagian lagi dia pegang. Kemudian dia duduk
disampingku. Ikut memperhatikan layar monitor yang ada didepanku.
Aku terus memperhatikan Fadhil. Dan sungguh. Meski
sudah seperti keluarga sendiri, anak ini tetap saja kurang tahu diri jika
sedang ada di kamarku, dan hanya berdua bersamaku. Dia tahu persis, kalau
kamarku yang dirumah ini bersih, tidak seperti kamar kost-ku yang ada di Jogja
yang seringkali berantakan. Dia juga tahu, kalau aku suka kebersihan dan
kerapian, saat berada di rumah orang tuaku. Namun Fadhil dengan
santainya, membiarkan tas dan kertas-kertas itu berserakan di rak. Padahal,
dikamarku itu, telah ada meja yang kusediakan untuk kertas-kertas semacam itu.
Kuperhatikan, pakaian anak ini juga masih saja
kumal. Jelas bukan bahannya yang membuat terlihat kumal. Memang kebiasaan
Fadhil yang tidak pernah mau menyetrika pakaianlah, yang membuat pakaian yang
dikenakannya terlihat kumal. Jeans bututnya yang berlubang di bagian dengkul
kembali ia kenakan. Seolah menunjukkan bahwa dengkullah yang pertama dan utama,
harus didahulukan oleh seseorang dalam menjalankan kehidupan.
Tapi, aku memaafkan yang seperti itu. Fadhil,
adalah sahabatku yang paling kuhormati, kusayangi, dan tentu juga dia
menyayangiku. Khusus pernyataan seperti ini bukan karena aku suka dengan sesama
jenis, aku sangat menentang hubungan jenis ini. Hanya saja, aku tahu persis,
Fadhil adalah orang yang sangat perduli terhadap orang lain. Dan meski
dengkulnya yang menonjol keluar, ketika dia duduk menekuk kakinya, aku tahu,
kepalanya penuh dengan segudang ide. Siap meluncur ketika dipancing dengan
sedikit kata-kata yang menyentil relung hatinya. Tak pernah kuragukan yang
seperti itu, dari diri seorang Fadhil.
Selain itu, dia juga bukan mahasiswa yang tak punya
pemikiran progresif. Terbukti dengan kapasitasnya sebagai pemred majalah di
kampusku. Meskipun majalah itu hanya tersebar di intern kampusku, dan lebih
khusus lagi hanya untuk Fakultas Ekonomi.
”Artikelnya sudah selesai kubikin. Kapan rencanamu
berangkat ke Jogja?”, tanyaku saat Fadhil duduk disampingku. Pagi itu, aku
langsung menyerahkan artikel yang telah kuselesaikan, kepada Fadhil.
Seperti tidak memperhatikan pertanyaan yang
kuajukan, setelah menerima artikel yang kubuat, Fadhil malah memutar kepalanya.
Matanya jelalatan, memperhatikan ruangan kamar tempat kami duduk.
”Kapan kamu merubah suasana kamar ini?”, Fadhil
bertanya dengan terus memperhatikan sekeliling.
”Kemarin kamu juga sudah ada ditempat ini”, kataku
menanggapi pertanyaan sahabatku.
Saat itu, aku curiga, Fadhil sebenarnya tidak
bermaksud berkomentar atas perubahan suasana ruangan kamarku, yang memang
kumaksudkan agar aku tidak merasa bosan dengan keberadaanku di kamar itu. Aku
tahu, Fadhil bertanya seperti itu, hanya untuk mengatakan sesuatu yang lain,
karena pada malam sebelumnya, ia sudah merasakan perubahan kamarku itu, saat ia
berbincang-bincang dengan Najmuddin dan Rony.
Dan benarlah, kata-kata Fadhil setelah itu,
dikeluarkannya hanya untuk memancing kepekaanku.
Setelah bertanya soal perubahan suasana kamar,
dengan entengnya Fadhil berkata kepadaku, ”Kamu nggak berubah sama sekali, Fif.
Apa kamu kira dengan terus-terusan merubah posisi semua benda yang ada di kamar
ini, itu akan merubah dirimu? Dengan terus berada di kamar ini kamu dapat
menikmati malammu dengan lebih tenang di sini? Lebih kangen rumahmu ini? Apa
dengan terus berada di kamar ini, dan nggak melihat suasana diluar, kamu bisa
tahu perkembangan? Dan juga, apa dengan terus memboyong komputermu itu
bolak-balik Jogja-Kediri, otakmu akan semakin encer?”
Seperti itulah gaya Fadhil untuk mengkritikku. To
the point dan langsung ke pokok masalah. Dan aku suka dia yang
seperti itu.
Aku diam saja pagi itu. Aku tidak ingin menanggapi
kata-kata Fadhil. Daripada terjadi debat kusir dengan Fadhil, yang kurasa
kadang tidak mau mengalah kalau sudah punya pendapat pribadi, aku memilih diam.
Aku lagi malas berdebat dengannya saat itu. Kubiarkan saja dia memperhatikan
sepuasnya apa yang ada di ruangan kamarku. Dan kubiarkan dia berkomentar
sana-sini. Nanti juga kalau tidak kutanggapi, dia ikut diam.
Kukira juga, tidak seratus persen Fadhil
menyalahkan apa yang kuperbuat dengan kamarku. Dia tahu persis apa yang
kulakukan dengan kamarku.
Mata Fadhil terus mengembara. Dan tiba-tiba, dia
mengambil buku, yang pagi sebelumnya aku temukan. “Ini apa?”, tanyanya sambil
membolak-balikkan buku itu.
“Lihat sendiri. Kamu kan bisa baca. Itu aku temukan
tanpa sengaja tadi pagi. Waktu aku lari pagi tadi”
“Hah…!!!”, Fadhil memandangiku, ”Sejak kapan kamu
lari pagi?!!”
Fadhil masih menatapku. Dari matanya aku tahu dia
mau tertawa. Tapi diurungkannya.
Kemudian Fadhil mulai berkutat dengan tulisan di
buku itu. Fadhil mulai terlihat serius. Dan itulah gaya aslinya, ketika
berhadapan dengan sebuah tulisan.
Wajarlah Fadhil, sahabatku itu dijadikan pemimpin
redaksi di majalah kampus. Setahuku, dia sangat suka dengan semua jenis
tulisan. Baginya, mungkin tulisan, seperti sebuah santapan yang lezat dan tak
pernah membosankan. Biasanya, ketika berada di rumahku, ia bisa betah
berjam-jam berada di gudang bapakku. Aku sendiri, memang terkadang juga seperti
itu, tetapi kukira, aku tidak mampu seperti Fadhil, yang kulihat selalu
tertarik kepada semua jenis tulisan.
Beberapa menit kemudian Fadhil berhenti membaca,
lalu meletakkan buku itu.
“Wow… Shinta man!! Kamu belum pernah
cerita kalau kamu kenal Shinta. Kamu merahasiakan sesuatu dari sahabatmu ini
??” Mata Fadhil menatap kearahku. Ia memperhatikanku dengan seksama seolah
ingin mengetahui sesuatu dariku. Pandangannya jelas menyelidik saat itu.
”Sudah kubilang, aku temukan buku itu tanpa sengaja
tadi pagi. Aku juga belum tahu Shinta itu siapa....” kataku sedikit tertahan.
”Kukira...” Fadhil kemudian terdiam. Dia menahan
kata-katanya.
”Kamu kira apa ?!” tanyaku.
Fadhil tidak menjawab. Ia hanya diam, lalu berdiri
mengambil ponsel yang ada ditasnya. ”Aku mau telpon Shinta. Ini kesempatan !!”,
kata Fadhil saat ia kembali duduk disampingku. Dia membuka kembali buku catatan
itu.
Aku mengeryitkan dahiku, melihat kelakuan sahabatku
satu ini. ”Untuk apa kamu telepon, Dhil? Aku sudah sms tadi. Kalau dia butuh bukunya,
pasti dia akan kasih tahu bagaimana cara mengembalikan buku itu. Lagipula siapa
Shinta? Memangnya kamu kenal?”, kataku coba berkomentar.
Fadhil tidak memperdulikan kata-kataku. Dia sibuk mencatat
sesuatu di ponselnya. Beberapa saat setelah itu dia berdiri lagi. Kemudian dia
mulai berbicara dengan seseorang melalui ponselnya. Fadhil berjalan hilir mudik
di kamarku.
Akhirnya, tak kuhiraukan, dia bicara apa saja, di
telepon. Aku sibukkan diriku dengan beberapa tulisan di komputerku saat dia
seperti itu.
*****
”Yess !!! Akhirnya aku bisa ketemu juga untuk
mewawancarainya. Susah sekali ketemu. Layaknya artis saja!!”, Fadhil berteriak
kegirangan setelah berbicara lama melalui ponselnya. Persis seperti anak kecil
tingkah laku dan ekspresinya saat itu.
Kemudian, dia duduk kembali disampingku. Dia menyalamiku.
Aku semakin getir dengan kelakuan sahabatku.
Bolehlah sebagai mahasiswa, punya banyak pemikiran dan aktivitas. Tapi jangan
sampai membuat dirinya bertingkah aneh seperti itu. Apalagi bertingkah polah seperti
anak kecil.
“Kamu nggak apa-apa?”, tanyaku dengan memandang
Fadhil.
Fadhil tersenyum. Seolah ada suatu kemenangan yang
baru saja didapatkannya. ”Kamu benar-benar tidak tahu Shinta itu siapa, Fif?”,
Fadhil balik bertanya kepadaku.
Aku menggelengkan kepala. Dan Fadhil buru-buru
mengambil beberapa lembar kertas yang tadi dibiarkannya berserakan dirak
bukuku. Dia menyerahkannya kepadaku. ”Kamu baca ini, Fif. Itu profil singkat
Shinta. Kamu akan tahu, kenapa aku begitu senang bisa bicara dengannya”, kata
Fadhil penuh semangat.
”Nggak menjamin, dengan membaca ini aku akan tahu
kenapa kamu begitu senang, Dhil”, kataku sedikit ragu-ragu.
”Sudah... Baca saja dulu! Dan kalau nanti kamu mau
menyalurkan keisenganmu untuk merubah isinya, rubah saja. Kuserahkan profil ini
padamu sebelum diterbitkan di majalah yang kuurus. Yang pasti kamu harus tahu
lebih dulu siapa Shinta. Agar tidak melenceng jauh kalau benar nanti kamu ingin
merubah isi tulisannya. Shinta adalah salah satu mahasiswi di kampus kita, yang
baru-baru ini, dapat penghargaan atas bukunya berjudul Pengaruh Puisi Terhadap
Psikologi Remaja Muslim. Dan yang pasti, kalau mau merubah profil itu dengan
bahasamu, kamu harus menyelesaikannya sebelum aku mewawancarainya nanti”, kata
Fadhil masih dengan semangat dan mulai memberikan penjelasan singkatnya tentang
siapa Shinta.
Aku mulai membaca kertas-kertas itu. Beberapa menit telah
kuselesaikan.
”Kok kamu begitu bersemangat? Nggak ada yang
menarik di tulisan ini. Profil yang biasa-biasa saja”, kataku sambil memandangi
Fadhil.
”Bagaimana tidak bersemangat, Fif !?”, ucap Fadhil.
Ia mulai serius dengan apa yang diucapkannya, ”Shinta, tidak jelas dia dapat
ilham dari mana, yang pasti ia telah menulis buku tentang remaja muslim. Dan
juga mendapat penghargaan atas bukunya itu. Padahal yang kutahu, ia bukan
seorang muslim. Aku tidak tahu, persisnya apa agama yang dianutnya. Sepertinya,
ia bukan penganut sebuah agama, hanya ia memiliki kepercayaan kuat dalam
dirinya, bahwa Tuhan itu ada. Dan karena keunikan seperti itu aku sangat tertarik
pada Shinta. Aku bermaksud memasukkan profil singkatnya ini, di majalah kampus.
Sekaligus untuk menyemangati teman-teman lain menulis, mengingat prestasi
Shinta yang sampai menerima penghargaan. Bukankah sekarang sudah tidak banyak
mahasiswa yang punya hobbi menulis? Masuk akal kan kalau aku bersemangat?”,
Aku hanya mengangguk. Aku benar-benar masih merasa
heran, dengan semangat aneh, yang saat itu dimiliki sahabatku.
Aku juga masih bingung, buku Shinta buku yang mana?
Apakah yang dimaksud Fadhil adalah buku kecil itu? Tapi rasanya, kalau buku
kecil itu, tak mungkin akan mendapat penghargaan. Itu hanya sebuah catatan
kecil.
Aku pun membiarkan sahabatku dengan semangatnya
yang benar-benar belum bisa kumengerti. Aku kembali berkutat dengan beberapa
file di komputerku.
Beberapa saat setelah itu, tiba-tiba, Fadhil
menyodorkan selembar foto.
”Fif, tolong dong... bisa scan foto ini kan? Aku
ingin memuatnya juga dimajalah kampus. Sekarang ya...”, pinta Fadhil.
Aku terima Foto itu.
”Ohhh..... ini adalah foto gadis, yang tadi pagi
aku jumpai”, gumanku dalam hati. Aku terdiam sebentar memperhatikan foto itu.
”Fif, kok malah diam?”, tanya Fadhil.
Aku masih terus diam. Belum kujawab petanyaan
Fadhil.
”Heiii !! Fif...!!”, Fadhil kembali berucap. Menegurku.
Aku memandang Fadhil. “Ini siapa, Dil??”, tanyaku
kemudian.
”Itu Shinta. Yang profilnya akan dimuat. Fotonya
harus kamu scan dulu. Syukur kalau kamu desain jadi cover majalahnya”
”Ini yang namanya Shinta??”, tanyaku lagi.
“Iya... itulah Shinta !!” ucap Fadhil, masih dengan
semangat yang aneh. ”Kenapa Fif? Cantik kan??? Makanya, cepetan scan fotonya !!
Bila kamu ingin ketemu langsung dengannya, Rabu kita balik ke Jogja. Hari ini
memang dia ada di Kediri. Tapi, saat aku telpon tadi ia mengatakan padaku, hari
kamis siang saja aku ketemu dengannya di Jogja. Tadi aku sudah buat janji
dengannya. Aku akan bertemu di Darto Cafe”, lanjut Fadhil.
Aku kembali terdiam. Aku kembali memperhatikan foto
gadis itu.
Benarlah, itu foto gadis yang pagi sebelumnya
kutemui. Ternyata buku catatan aneh itu, dia yang memilikinya. Gadis berambut
panjang itu.
Mungkin, karena aku diam memperhatikan foto itu,
Fadhil lalu kembali sibuk dengan beberapa lembar kertas lain, yang ia keluarkan
dari dalam tasnya.
Saat Fadhil seperti itu, aku sebenarnya ingin
menceritakan kepadanya, apa yang kualami sebelumnya. Namun, kurungkan niatku
karena Fadhil terlihat begitu asyik dengan kertas-kertasnya. Kubiarkan saja
Fadhil sibuk dengan tulisan-tulisan yang dibacanya. Toh, nanti dia juga akan tahu
sendiri apa yang kualami.
Aku lalu menaruh foto yang diberikan Fadhil itu,
diatas scanner yang ada di samping komputerku. Sebentar saja, sebuah file yang
berisi foto Shinta sudah tercopy dalam sebuah disket, lalu kuserahkan ke
Fadhil.
“Dhil... ngomong-ngomong, Shinta, menurut profil
singkat ini kan bertempat tinggal di Jogja. Kok dia bisa sampai di Kediri?”,
tanyaku iseng saat menyerahkan disket itu ke Fadhil.
“Ya mana aku tahu, Fif... Tanya sendiri sama Shinta
dong ! Kan kamu yang menemukan buku itu”, jawab Fadhil.
“Ditanya baik-baik jawabanya begitu...”
“Lha... harus kujawab apa Fif ?? Shinta sekarang
ada di Kediri, itu kan bukan urusanku, Fif. Yang jadi urusanku, aku harus
mewawancarainya sebelum profilnya diterbitkan di majalah kampus kita. Nanti
saja pas ketemu dia, kamu tanyakan urusan dia di Kediri apa. Atau jangan-jangan
kamu....???”, Fadhil nyengir dan memandangku. Pandangan Fadhil pagi itu,
terlihat menyelidik setengah......
Oh... setengah kurang ajar kepadaku kukira, karena
ia sedikit mempermainkan alisnya. Ia berucap sambil mengangkat-angkat alisnya
yang tebal.
“Bukan begitu maksudku Dhil...”, ucapku kemudian,
”Aku tanya karena kamu tentunya tahu informasi kenapa dia disini. Kamu kan
wartawan. Meski tarafnya masih lokal kampus. Aku tertarik menulis ulang profil
Shinta yang kamu kasih ini. Dengan informasimu kenapa dia di Kediri, siapa tahu
aku bisa mencantumkannya di profil singkat yang akan kutulis. Kamu tadi sudah
telepon dia kan?”
“Oh itu maksudmu? Aku sih tidak tahu persis. Aku
tidak sempat tanya seperti itu tadi. Tapi dia memang ada di sini. Dugaanku, dia
ke kota ini, mungkin saja dengan si Dewi, gadis manja, tomboy, tapi sedikit
cerdas, yang dulu jadi sekretaris OSIS sewaktu kita masih duduk di SMA...”
“Dewi yang adik kelas kita itu? Yang sekarang
kuliah di kampus kita? Kenapa juga kamu katakan tomboy? Bukankah dia sahabat
kita juga?”
”Iya.. siapa lagi kalau bukan dia?? Menurut info
yang pernah kudapat, Shinta bersahabat dengan Dewi, gadis tomboy itu. Pokoknya
tomboy. Alasannya nanti saja. Yang jelas, mungkin saja Shinta berkunjung
kerumah Dewi”, jawab Fadhil menjelaskan.
Aku manggut-manggut. Tapi, ada satu pertanyaan
dalam diriku saat itu. Kalau Shinta sahabat Dewi, kenapa Fadhil tidak meminta
Dewi saja yang mewawancarai Shinta? Dewi juga salah satu pengurus dan penulis
artikel di majalah kampus. Bila Shinta sahabat Dewi, tentu Dewi akan lebih
mudah menemui Shinta lalu mewawancarainya. Kenapa harus Fadhil sendiri yang
susah-susah ingin mewawancarai Shinta?
Aku hendak bertanya yang seperti itu kepada Fadhil,
namun kuurungkan. Saat itu, aku memilih bertanya kepada Fadhil mengenai
Supriadi.
Kutanyakan kepadanya, tentang informasi yang
diperoleh Fadhil mengenai sahabat kami itu.
Mendapat pertanyaan dariku, dengan wajah sedih,
Fadhil mengabarkan kepadaku kalau informasi yang diterimanya ternyata tidak
akurat. Jadi, siang harinya kami tidak perlu pergi ke Malang, karena belum
tentu, Supriadi ada di sana.
Saat menjelaskan itu, jelas terlihat gurat sedih,
di wajah Fadhil. Aku bisa mengerti kenapa Fadhil seperti itu. Aku juga
merasakan hal yang sama.
Akhirnya pagi itu kami sepakat, kami akan terus
mencari Supriadi, sampai kami menemukannya. Apapun yang terjadi pada Supriadi.
Selepas kesepakatan itu, Fadhil berpamitan kepada
ibuku. Lalu aku mengantarnya sampai ke teras rumah.
”Fif”, ucap Fadhil saat kami sampai diteras, ”Bila
kamu benar-benar ingin merubah isi profil Shinta itu, kuharap telah selesai
sebelum aku mewawancarainya nanti, di Darto Cafe. Dan jangan lupa juga desain
covernya...” Pagi itu, Fadhil coba mengingatkanku. Ia juga coba memintaku
membuat desain cover untuk majalahnya. Aku mengangguk saja.
Setelah itu, Fadhil menuju ke sepeda motornya yang
diparkir di halaman rumahku. Ia menstarter motornya. Dan kurasa, motor itu
benar-benar mengeluarkan suara sangat ribut ketika ia mulai menggebernya
meninggalkan halaman rumahku.
*****
Setelah Fadhil pergi, suatu semangat aneh,
tiba-tiba muncul dalam diriku.
Dalam hati, aku berharap, bisa sedikit menulis
tentang Shinta, dengan berdasar tulisan yang diberikan Fadhil kepadaku. Aku
juga merasa, harus cepat-cepat menyelesaikannya. Meskipun informasi yang
kudapat dari tulisan Fadhil itu kurasa sangat sedikit, toh aku juga sedang
memegang buku kecil milik Shinta. Bisa kugabungkan beberapa hal yang ada di buku
itu dalam isi tulisanku nantinya.
Dengan semangat aneh yang tiba-tiba muncul dalam
diriku itu, aku kembali masuk kedalam kamarku. Mengambil beberapa buku kecilku.
Lalu aku membulatkan niat untuk membersihkan gudang bapak, sekalian mencari
tambahan informasi di tempat itu yang mungkin bisa kusisipkan dalam profil
singkat Shinta sebagai asesoris tambahan dalam tulisanku nanti.
Pagi itu, aku mulai tersenyum dalam hati. Dan
yang ada dalam pikiranku saat itu, hanya satu hal.... ”Kejadian hari itu, serba
kebetulan sekali!! Hoohoohoo..!! Seperti dalam cerita sinetron saja. Sahabatku
ingin mewawancarai seseorang. Pada saat bersamaan, aku menjumpai orang itu di
pagi buta tanpa sengaja. Menemukan bukunya dan... dan memang, dalam sebuah
fiksi seperti cerita sinetron, segalanya bisa dibikin seolah seperti kebetulan.
Tapi tidak seperti di alam nyata. Tidak ada sesuatu yang diciptakan secara
kebetulan. Apalagi hanya untuk
main-main.”*****
0 komentar:
Posting Komentar